Senin, 29 September 2014

A fine sight..



you are..
ever since the first time I laid my eyes on you.. that day, in the grace of evening sun and the music was chanting softly.
and when the song ended, it is still you. Probably will always be you...

(Jakarta, Sept 2014)

Senin, 05 Agustus 2013

Un recuerdo...

Teringat satu senja, di warung itu. Saat penganan dan teh botol dihidangkan, aku menyeletuk,” jika aku suatu saat nanti mati, kalian  hanya akan bersedih satu minggu untukku, setelah itu pffiuhh.. hilang,”. 

Tangan-tangan yang sedang menyuap terhenti di udara. Dua orang sahabat (seingatku) menunjukkan wajah bingung... yang satu lebih kelihatan kesal daripada bingung.


“Yah, satu dua mungkin masih mengingatku satu bulan,” sambungku, dibalas tatapan yang semakin bingung. “ Satu tahun mungkin?” sambungku lagi, tak yakin.

Si teman berwajah kesal berkata tajam, “Apa maksudmu?”.

Tidak ada. Aku tak bermaksud apapun. Hanya sebersit pikiran yang terlintas, dan kusuarakan tanpa benar-benar meminta maksud.

 Disekitar kami, suara sendok dan piring saling beradu. Tawa, canda. Bising. Ditingkah suara api dan penggorengan yang mendesis.  Masih diiring lirikan-lirikan tajam, dalam diam aku memulai suapanku.

Saat ini. Setiap hariku berlalu begitu saja. Kadang baik, kadang tidak.

Kemarin dulu aku mencinta hidup. Begitu hidup. Bahkan dedaunan kering tampak indah di mataku. Hari tadi aku membenci. Begitu sangat. Menyumpah sampah dan sampah. Dan tidak, tak kubendung...

Aku manusia. Mencinta dan membenci. Mencoba meminta dan memberi maaf. Belajar dan belajar. Begitu, mungkin aku  mampu untuk mengenang. Dan lalu mungkin aku bisa meninggalkan sesuatu untuk dikenang...
                                                                                                                                                                (Agustus 2013)

Senin, 31 Desember 2012

Tutup tahun...

Tadi itu, sepulang misa senja. Menjelang tutup tahun, dan hujan gerimis tak henti-henti..
Aneh merayakan malam pergantian tahun tanpa orang-orang terdekat. Tanpa jerit terompet dan teriakan selamat tahun baru...
Dulu sekali, malam-malam seperti ini adalah malam yang paling kutunggu...
Berbaris dengan teman kecilku, tanpa alas kaki, berkumpul di halaman rumah bambu itu. Menyaksikan latihan terakhir tor-tor muda-mudi. Tante bungsu dan tulangku masuk dalam barisan penari.. diiring gendang kulit kerbau dan seruling bambu.. meriak nada-nada yang mengiring ser-ser kaki-kaki telanjang yang lembut.
Pada malam terakhir di tahun itu.. dan setiap tahun setelahnya, rombongan musik kampung mengunjungi dusun-dusun. Memamerkan kaki-kaki telanjang, pemudi dan pemuda dibalut ulos, megah dalam kesederhanaan..
Dan kami, anak masih dengan ingus meleleh, ikut tanpa lelah.. rombongan yang mulai berjalan setelah dentang lonceng gereja memecah keheningan malam pergantian tahun. Setelah doa-doa syukur dipanjatkan dalam balutan lilin-lilin saja.. Oh ya, dulu itu listrik belum masuk masuk kampung ompungku.. eh, sudahkah kuberitahu, jika dulu juga setiap malam seperti malam ini, seluruh keluarga berkumpul di kampung ompungku yang di pelosok itu? dulu di ujung kampung adalah hutan lebat saja, dan jalan menujunya di kiri kanan pohonan durian, langsat dan cempedak, berlubang dan berlumpur karena hujan di penghujung tahun.
Malam ini, disini jalanan ditutup dari Sudirman sana. Katanya ada banyak panggung didirikan, pertunjukan musik akhir tahun. Orang - orang tumpah ruah di jalanan, tak peduli gerimis tadi.
Tidak sama, pikirku.
Para panortor yang kami buntuti dulu itu, memberi kegembiraan bagi kampung yang terang hanya oleh petromaks. Keriangannya di bumbu sinar bulan, sorak sorai yang syahdu. Sederhana saja. Mereka bergerak dari dusun terjauh menuju hilir, orang-orang bergembira dan menari riang. Menyelipkan selembar ribuan lusuh, yang nanti dijadikan bekal memperbaiki gendang kulit kerbau dan mengoles seruling bambu. Biar dapat berbunyi lagi di tahun berikut. Meski setelah tahun berlalu, mereka pun hilang tergerus waktu.
Aku yang mencintai nada-nada, tidak tertarik pada hingar bingar di bundaran sana itu. Kemegahannya kalah pada kenangan ini. Ah, tapi mungkin saja aku sedang rindu.

This is my december, this is my time of the year
This is my december, this is all so clear

(31december2012)







Jumat, 30 November 2012

Pulang
----------------

Kalau sudah lelah...

Kalau hilang arah...

Kalau marah merajai...

Kalau luka tak mau pergi...

Kalau hati jenuh mencari...

Pulang !!!




Rabu, 31 Oktober 2012

Omong kosong...



Aku jatuh cinta..
Aneh juga. Sudah kukenal sejak semula, tapi siapa bisa mencegah dia datang dalam keriuhan hari.
Dentuman kata dan alunan nada. Gerak anggun bahkan dalam keliaran kaki. Hanya suara dan itu sudah semua yang terindah.

Kukatakan, aku jatuh cinta..
pada dia si tampan di dunia sana. Hahh.. berapa yang akan tertawa kala kubagikan cerita ini. Mestinya dulu kujawab ya, atau menari bersama saat genderang memenuhi ruang dan gendang telinga. Tapi hey, saat itu kemudaan hanya satu dari sekian alasan untuk menjadi sunyi. 

Aku jatuh cinta dan kau mengenal dia..
Biar saja sepi menggunung di sekitar kita. Dalam diam ini, nada-nada menghentak-hentak liar, dan ruang-ruang disana bergemuruh dengan kata-kata yang engkau dan aku saja yang bisa. Lalu tak apa jika semesta lagi-lagi tertawa.

Dan aku jatuh cinta.
Padamu yang kukenal ketika hidup masih lagi biru. Merah putih dalam keriangan dan langkah-langkah kecil. Padamu yang kusapa dulu hanya dengan barisan kata tak tentu makna. 

Hahaha... mereka bilang aku gila. Tentu saja. Tak perlu dibela.

"... and love is not a victory march,
it's a cold and it's a broken hallelujah..."


(ketika hantu-hantu diam sementara, Okt 2012)                                        

Senin, 01 Oktober 2012

In remembrance of you...



Sekali lagi, tapak kakiku mengalahkan semua keragu-raguan...
Ransel di punggung, sepatu tua menipis, dan semangat yang pudar setiap kali ingat kali ini kawan berdendang tak turut menemani. Para sahabat wedusku jauh... Jika saja janji si penggembala tak ikut mengiring, tentu tak ada pendakian kali ini.

Ladang kentang dan pohonan rapat, lembab penuh serangga buas. Jalanan yang lagi menanjak tanpa ampun menuju danau itu, berkabut dalam lindungan tujuh pengawal. Sepotong perahu bocor tergeletak di samping batuan besar tempatku melepas lelah. Hari pertama dimulai...

Sepanjang turunan curam, lutut kiri mengingatkanku setahun lalu. Ucapan bernada riang bersahabat, menuntun kala kembali dari Segara Anak menuju pintu Senaru.

" Kaki kanan dulu itok.. kanan dulu, ingat kanan dulu baru kiri,"  berulang-ulang tak kenal lelah. Biar dalam balutan gelap saat cahaya senter mulai melemah.

Tersentak, dan pandangkupun ke pepohonan rimba. Ah, dimana langit? 

Jalanan baru, menanjak lebih tinggi. Ke puncak itu... 
Hari ini kami bergurau. Tertawa mengingat dia yang selalu tertawa riang. Tak habis mengenang setiap detil kecil, menemani langkah-langkah melambat menjelang ketinggian. Hanya dia yang mampu mendapat secangkir teh panas pada segerombolan porter riang di plawangan itu. Dia juga yang terundang menikmati kue lebaran dan oleh-oleh sebutir nenas. Siapa yang tak ingat keriangannya bernyanyi menghibur lelah," dont worry, coz everything's gonna be alright".  Kami tertawa. Aku tertawa, dan setitik air di sudut mata mulai terasa.

Semakin tinggi, dan udara menipis menyakitkan kepala.
Dari beranda tenda, lampu-lampu Kersik Tuo indah di kejauhan, membentuk segaris rapi berkerlap kerlip. Langit di atas penuh bintang sehabis gerimis sore tadi. Lantunan indah penyanyi Jepang diputar berulang-ulang terdengar dari penghuni tenda sebelah.
Di salah satu bintang itu dia mungkin berada...

Dingin  menusuk mengiringi semangat baru. Hari ini harusnya indah...
Batuan rapuh, pijakan pasir. Lelah hari kemarin masih terasa. Dan seperti yang lalu, suaranya mengiang di kepalaku, " Kanan dulu, ingat kanan dulu itok..".Hehehe, senyumku mengembang. Aku saja selalu lupa lutut kiri yang tak karuan ini. Mana kukira, teguran lembut itu masih memanduku biar setahun sudah berlalu. Ya, kaki kanan dulu. Dan aku tiba disana.

Puncak Kerinci, dengan segala kemegahannya. Ah, hari ini mestinya indahh...

Lima belas hari sudah berlalu. Dini hari dimana kabar kepergianmu membuat pagi sekawanan wedus menjadi biru. 

Aku masih tertawa, kami masih tertawa. Di puncak ini. Mengingat engkau yang riang, merebut hati banyak orang. Aku tertawa meski haru menyergap. Sebab pendakian lalu membuatmu menjadi sahabat. Tidak butuh dua pertemuan menjadikanmu hebat. Jiwamu hebat, kerianganmu indah. Kami tertawa sebab engkau penyuka tawa. 

Fajar baru, langit biru dan kawah itu. Aku memandang selimut awan...
Hey kawan, titip salam untukmu diatas sana. Jika malaikat memang ada, minta pada Tuhan agar menjadikanmu mata dan telinga dalam perjalanan-perjalanan kami. Menjadi bintang penyejuk dalam pagi-pagi indah berikut, menyusur puncak - puncak lain. Menjadi malaikat kami.
Selamat jalan...

" We remember you as a brother and a friend. We cry for you because we speak the same language; a language of brotherhood, an anthem of love for this land of God. So long Don..." 

(Kerinci, Sept 2012)

Senin, 13 Agustus 2012

Nunc aut numquam...

Segudang ingin kalau sudah menjelang libur memanjang. Ke gunung, ke pantai, berkemah, berpesta. Aku belum juga memilih. Kurasa hasrat jalan-jalanku sekarang tak lagi bebas. Tak seperti sebelum-sebelumnya. Kakiku siap, ranselku siap. Tapi tidak saat ini.

gbr 1. karang merah yang sudah mati

Jadi kupikir, kenapa tidak kupajang saja photo-photo ini. Biar mengingatkan aku akan indahnya tempat-tempat yang pernah singgah dimataku.

gbr 2. Tablolong di terik mentari

Siapa tahu, semangatku muncul. Dan kakiku mau beranjak lagi, lebih bebas.

gbr 3. kemiringan Egon

Toh, ini cuma karena satu hal. Nusa Nipa. Yang tak kunjung usai. Yang tak kan terjelajahi di satu petualangan. Yang selalu meminta lebih dan lebih untuk didatangi. 

gbr 4. dari batu berteduh, 300m sebelum puncak

Dan kaki yang diam adalah kelemahan pikiran, kekosongan yang kosong. Maka esok aku masih ingin berjalan, semoga.
(Aug 13th, Sikka)