Kamis, 30 September 2010

Aku bisa saja membenci Tuhan…

Malam beranjak larut di Losd Tanjung Mbelang, satu dari sekian posko pengungsi letusan Sinabung di Kecamatan Tiganderket, Kabupaten Karo. Semakin dingin, sementara losd ini tak berdinding dan hanya berlantaikan semen tipis. Suara sang padre memecah kerumunan yang menyesak di sekeliling losd.

Ini malam persis keduapuluh hari losd ini ditempati penduduk yg mengungsi meninggalkan kampung-kampung sejuk di kaki Sinabung. Semakin sesak terasa, mungkin terhimpit rasa bosan dan penantian tak pasti dari pakar2 vulkanologi yang omongannya sering tak sejalan keinginan alam.

Sang padre masih berbicara, menghibur segenap penghuni Losd.
Malam ini renungan rohani, acara yang digagas untuk memberikan penyejuk (atau tidak??) di hati para pengungsi yang sudah sangat resah. Sementara melamun, aku sayup mendengar dia berkata, mari jangan marah pada Penguasa alam, ini bukan sengsara karena Dia ingin menghukum kita. Mari menganggap ini kejadian alam, dan adalah wajar adanya. Bumi kita sudah tua, dan kita yang perlu untuk waspada. Mari lihat sisi baiknya, kita boleh berkumpul bersama disini, berkenalan dengan tetangga kampung sebelah yang selama ini mungkin tak terpikir untuk bersapa. Di atas segalanya, mari lihat bahwa kita kecil, dan butuh Dia.

Pikiranku mengembara, ini bencana terkadang bukan apa2 dibanding yang lalu2. Tidur dilantai dingin beralas tikar saja, selembar selimut menghindarkan hawa dingin, sarapan indomie malamnya ikan asin, terasa jauh lebih baik, masih lebih beruntung. Daripada bapak di tepi Ulee lheu, yang kehilangan istri dan anak gadis tersayang, tak tahu dimana kuburnya. Daripada Yudi yg harus menyimpan sebelah cincin pertunangan selamanya, daripada Gempa Jogja, daripada Banjir Baleendah, daripada Gempa Nias, Gempa Padang, Longsor Ciwidey, Gunung Merapi, Angin puting beliung, daripada… aahh betapa banyaknya.

Ini masih belum apa-apa…bukan apa-apa..

Satu masa aku berjumpa ibu yg mencari anak perempuannya, katanya terseret galumbang rayeuk tsunami waktu itu, tp dia mencari di perempatan lalu lintas Beuraweeh. Aku bawa ke pos polisi, dan mereka menertawakan si ibu (dan menertawakanku juga…) Banyak orang kehilangan akal jaman sekarang dik, katanya…

Bisakah percaya, Tuhan tidak sedang marah pada kita?
Dia tidak membenci kita, lanjut sang padre. Bagaimana bisa Dia membenci anak-anak kecil, membenci para wanita, membenci pria-pria yang seharian menghabiskan waktu di kebun jeruk, di ladang bawang. Ayolah, Dia kan Maha Kuasa, kalau mau hanya Sodom dan Gomora modern saja yang dihancurkannya, Dia akan pilih-pilih. Maka lagi-lagi, lihat ini sebagai satu fase alam, mari tekun berdoa, tekun siaga, tekun berbuat baik.
Ah padre, aku pun tak bisa siap..

Perlu seluruh kekuatan hati untuk memahami misteri ini, bahwa Tuhan baik aku percaya. Tapi saat seperti ini, ketika yang terbaring dihadapanku adalah bayi dengan hidung meler, berwajah pucat, terbungkus tumpukan selimut menahan dingin, nini tua meringkuk dalam syal kusam disebelah tumpukan kardus indomie, susah sekali membawa hati ini padaMu.

Bapak bisa saja membenci Tuhan, dulu itu kata Bapak di tepi Ulee lheu, tapi buat apalah… Bapak masih hidup dan mungkin karena masih ada yang harus Bapak selesaikan disini, itu saja… Nanti juga akhirnya kesana, maka lebih baik jalani hidup sepi ini sebaik mungkin. Ya…sebaik-baiknya…

Malam terus menghitam, membungkus hari2 kelabu. Suara sang padre kini bersyair merdu, menghibur dalam alunan khas lagu Karo. Ini untukmu Bapa ras Nande… mari melandek, larutkan saja resahmu dalam tarian…

# 081 2 empat kali 555 terkirim berita
bayang tedeh ateku kena
la ndekah erterima mis kal ibalasna
cirem cirem aku mbaca smsna
Salam sayang ulanai kam main mata #

Senin, 27 September 2010

Misa Sunyi dan Pukul Bantal..

Dua bulan?? Ah ya, aku sudah tak ikut misa dua bulan, delapan kali hari minggu tepatnya, dua kali gajian tanpa potongan.. betapa hebatnya.
Maaf Bapa…
Tadi alasanku adalah membantu persiapan lomba sampan di Nelayan. Kuanggap lebih penting, padahal sebenarnya aku bisa menyisihkan 1 jam pagiku. Excuse…lagi-lagi.
Selesai sudah kemeriahan itu… semua senang, mudah-mudahan. Bangga juga aku pada mereka, pada kesederhanaan yang sarat mengiringi kegiatan. Betapa lugunya, saat sang ketua memberi kata sambutan, dengan santai seorang ibu lewat sambil memanggil-manggil putra kecilnya. Belum lagi bapak setengah baya yang melongok2 catatan pidato pak Ketua, hingga dia harus berhenti sejenak dan menghadiahkan senyum malu-malu, hahahaha…
Ah, indahnya hari.
Sampan-sampan kayu tua, tak elok dan tak berwarna, berbaur dalam kilauan matahari di atas air sungai. Teriakan dan gemuruh tepuk tangan menyemangati para pemuda dusun yang sudah ketinggalan jauh dikalahkan pria2 dewasa bertangan kekar, berkulit legam yang menunjukkan betapa kerasnya hidup yang sudah mereka jalani.
Hei anak muda, betapa malunya, kamu kalah.
Suara gedebuk bantal berisi dedaunan kering terdengar dari sebelah sana. Para wanita dan anak-anak berlomba pukul bantal. Seru, tak ada banding.
Duduk di atas balok dilumur minyak gemuk, dua orang saling memukul sampai salah satu jatuh dan menyentuh air. Seringkali, yg paling banyak memukul lawan adalah yg jatuh duluan ke dalam air, sementara sang bertahan mampu menyeimbangkan duduknya dalam beruntunan pukulan. Pelajaran berharga, semakin banyak memukul semakin kamu mudah basah.
Di sudut lainnya, panitia menyusun tumpukan hadiah. Kali ini, juara satu lomba sampan mendapat beras ber-kg dan sekantung penuh mie instant. Oh, ditambah sedikit uang pembeli rokok. Sedang itu pel lantai dan selembar selimut untuk para juara harapan. Tumpukan piring plastik, lagi-lagi ditambah beberapa keping mie instant, untuk para penggebuk bantal. Tak ada yang butuh trophy.
Semua berlomba, semua menang, semua dapat hadiah…
Tepukan dan salam terimakasih, saling mengucap silih berganti. Senyum di wajah Ketua, di wajah ibu SekDes, di wajah Amran yg tadi jatuh bergedebuk bak durian melayang di air tenang. Gembira pedagang jagung jualannya ludes, dan pak tukang es krim mengorek-ngorek lapisan terakhir. Senang dan puas..
Betapa sempurnanya hari... seandainya saja, ya seandainya sebelumnya, aku tidak melewatkan diri di depan jeep tua sang romo yang terparkir anggun depan gereja kecil samping jalan rumah itu.

Minggu, 26 September 2010

Paradoks…….

What do you do for living??..

Setiap kali bertemu orang baru, aku pasti mendapat pertanyaan sama. Ya, apa yang aku lakukan, ringkasnya, kamu itu kerja apa?

Semasa kuliah, setiap pulang kampung minta jatah sama orang tua, aku mesti menekan rasa malu. Sudah gede, masih menadah tangan..

Teman sebaya malah kelihatan sangat santai, menetapkan jatah bulanan sendiri. Tentu mintanya ke orang tua dengan sedikit acting, bilangnya tambahan diktat, tugas ekstra, atau malah buat salam-salam dosen biar dapat nilai bagus, biar kuliah cepat selesai..

Buatku, pulang kampung untuk mengambil jatah bulanan berarti juga harus menahan sesak hati, melihat wajah ibu yg tiba-tiba resah (pastilah gaji bulanannya sudah habis buat belanja). Bapak sama saja, sudah tak bergaji dia, habis diagunkan untuk membangun petak rumah kecil itu. Meski seorang pendidik, malah harus cari makan mengandalkan motor bututnya.

Setahun berlalu, aku memutuskan untuk membuang sebagian waktu bersenang-senangku. Membatalkan keanggotaanku mapala-ku yang kudapat susah payah (cadangan soalnya hahaha..)

Memberi les sore buat sekumpulan anak-anak manja, yang lebih suka bergelayut dipunggungku daripada mendengar kosakata baru yang kuajarkan. Selalu pulang dengan tangan keseleo, punggung sakit.. Hingga masa akhir kuliah, aku kerap berganti kegiatan. Bukan pekerjaan, aku tdk menganggapnya kerja, belum.

Betapa banyak hari yang kulalui dengan satu tujuan, uang kuliah semester depan haruslah dari kantung kumalku. Menitip absen, berbohong pada Dosen (maaf ibu, oppungku yg itu memang sudah lama mati), mengejar bus terakhir dari SMU (tempat aku membawa remaja2 itu bertualang dalam dunia tenses yg njelimet) di kaki Sinabung, hingga satu2nya tempat yang tersisa adalah duduk di atas bus (ya, di atap bersama gerombolan keranjang kol, jeruk, bawang dan tomat) Tak mengapa…

Aku selesaikan kuliah dengan kebanggaan tersendiri, aku tidak memberatkan orang tuaku. Jatah bulanan diperkecil, hingga akhirnya hilang sama sekali..

Bertahun kemudian… Aku mendapati diri berada di nanggroe, negeri dimana adat dan tradisi sungguh berbeda dari yang kumengerti.

Bekerja dengan label humanitarian worker, aku datang dengan keinginan

berkarya bagi kemanusiaan (cieehh..) penuh semangat.

Sedikit terkejut, culture shock katanya, menemukan ragam wajah dari berbagai latar belakang. Mencoba berbaur, aku menikmati kegiatan yang kini boleh kusebut pekerjaan (ID cardku menabalkan itu).

Begitu bangganya aku, memulai hari dengan menyusun daftar kegiatan membantu mereka yang adalah korban tsunami. Setiap hari aku percaya, aku datang untuk melakukan kebaikan bagi orang lain, aku adalah perpanjangan tangan Tuhan (well, yah kalimat terakhir agak berlebihan)

Setahun berlalu, Gempa Jogja muncul, organisasi dimana aku bekerja ikut merespon, lalu akhir 2006 Banjir besar di Lhok Sukon turut menambah daftar pekerjaan. Stipendium yang cukup lumayan (dibanding kegiatan ekstra masa kuliahku) aku anggap bonus saja.

Tiga tahun berlalu, perasaan itu mulai terkikis, ketika sekelilingku mulai terlihat rakus, mengambil lebih dari yg seharusnya dia terima. Bahwa ini adalah respon terhadap kemanusiaan mulai tidak terasa. Kegiatan harian hanyalah jadwal yang harus dipenuhi. Label di Id card itu mulai kehilangan jiwanya. Saat kontrak kerja di sekelilingku mulai berakhir satu persatu, gerutuan dan komentar tak sedap mulai terdengar.

‘Kapan ya, ada bencana lagi, biar tetap dapat menikmati gaji bulanan’.. Aku tidak terkejut, dalam pikiran sadarku pun sering terlintas.. ketika semangat hidup daerah bencana telah bangkit, aku toh tidak akan diperlukan lagi. Lalu, kemana harus melangkahkan kaki? Apakah harus ada bencana baru, korban baru sehingga aku boleh bekerja? Apakah penderitaan orang lain adalah jalan menuju pemenuhan pundi-pundiku?

Betapa tidak manusiawinya…

Aku bisa saja menolak candaan ini, namun kenyataannya aku ada didalamnya. Aku butuh pemahaman baru akan apa yang aku lakukan. Mungkin seharusnya aku tidak mengganggap ini pekerjaan, karena ada rasa bersalah disana.

If You ask meO Dear Father

Of kingdom on earth or the one I love

No second thought would I compromise

To love someone should be my pride

Only when You ask me to choose

Those whom I love or the

Grace of You O Lord

Undeniable I will pack my heart

Because only through you

I will show them a sweeter love

I will deliver them a better word

I will embrace them a warmer hugs

I will bother them a bigger smile

I will serve them

A better me….


(Langkat September 2010)

Sabtu, 21 Agustus 2010

Night seeing..

I just saw a little girl doing night job, collecting plastics and garbage cans, helping her mom.
They rode on what is known as tricycle/rickshaw, she jumped out of it every time she found plastic bags and bottles, and at one chance playing a trick with a rabbit she met in front of a house while I walked watching her with a burger wrapped on my hand. It suddenly made me feel bad, like somebody's watching me stealing something. It's not like I'm stealing something nor planning to do it. It's just not right. She was out on the dirty street, passed her bed time, and I was out searching for bunch of carbohydrate to comfort my stomach (I have my dinner, so it's an extra food)..

I'm home with this thing crossed my mind... thinking how lucky I am, no disturbance on my sleeping at night, except I'm making it up.. while out there, a child (many I believe, gosh just realized it) are working still, wondering if ever get a rest. What a life...

Nothing..

Not in the good mood to write...
been watching a movie, have finished two actually.. and that sucks. I end up wanting more, and it's just not right. My mind is not thinking good things lately, with loads of that bunch of report, I supposed to have a busy week. But it's not, which make me a little bit worried. Deadline is on its way..
Whats the meaning of being creative anyway, having your days spending doing something you like or finalizing all those things you are forced to do?
I've been with this many thoughts lately. Dont like myself this time, doing crap things.. and keep that important things behind.
I am always have this feeling, me quit the job.. starting to do things I'd like to do, pursuing the dreams I dreamed.. which surely will take on some consequences. Not all bad consequences though.. But this doubts come over and weaken my spirit..
*sigh*
Really hope for a fruitful time.. to contemplate, and I might come up with good things to do.

Senin, 26 Juli 2010

Kalah..

Ah...
pagi menjelang dalam secangkir kopi mengepul..
masih ingatkah, waktu itu kau minta sejenak kita berbincang
tentang indahnya malam saat bulan mencoba menggoda awan

Aku katakan dunia hari ini mestinya tersenyum
kau bilang tak perlu sayangku, aku cukup senyummu
dalam selembar koran kemarin kau mengeluh
Ini kota sudah tak ramah lagi..
dan engkau pergi dalam diam

Di kebisuan kemudian..
aku memandang hari berubah merah
ketika kau kembali dalam kelusuhan petang
memandang penuh kesedihan..
sayang, esok tak perlu sajikan kopi
kita berbincang saja
esok aku tidak kemana-mana..

Medan, 26 juli 2010

Jumat, 23 Juli 2010

Jakarta, a contemplation


Tiga kata, crowded, magnificent, and home… Meski bkn utk yg pertama kali, aku ingat kmrn menjejak kaki dsini. Bingung mau tgl dmana, untungnya dah ada temn yg coba kberuntungannya dsini. Lalu, dimulailah prjalanan harianku, untungnya lg aku ga sendirian berkelana d rimba besar ini (Indonesia bgt, untung melulu). Dan kata pertama terbukti, crowded, banget… bikin pusing, ga bs nafas, pgn ninju org, pgn teriak, pokoknya bkn banyak keinginan, yg setelah d akumulasi tak satupun yg positif.

Balik k kost… aku baru tau, trnyata people living in big cities pnya cara khusus buat brkomunikasi, bah tak pernah terpikirkan olehku. Selagi aku ceroboh melakukan berbagai hal, tiba2 saja tembok ruang tamu n kmr mandi memajang “pesan hari ini”. Throw that kind of rubbish into special bag please! atau Put everything in place please! semntara setiap saat aku toh ketemu dgn sang redaktur pesan tsbt. Untk kesopanan atau sebegitu jauhkah sudah rasa berbagi kata?? mgknkah terlalu sibuk? atau malah ‘ga pntinglah buat diomongin face to face’?

Today’s schedule, balik lg nyusurin busway yg still crowded (oh yeah, this kind of transportation is so popular that you won’t expect to get a free seat for the money you spent). Beautiful day…. aku blg magnificent sbg kt kduaku, meski dlm kabut asap pabrik, still pemandangan kotak2 tinggi itu bkn aku kagum (maklum yg biasa aku liat perkampungan dgn ladang padi, dan jalnan aspal kota berbukit yg sepi dgn tahi sapi yg msh merajai jalanan). Magnificent dgn lingkaran fly over yg kerap bkn aku bngung dan hilang konsep arah hahaha… Magnificent karena kt org hidup sungguh sulit di kota ini, msh saja setiap hari berbondong para pncari nafkah ngantri d stasiun kota (biar ktnya ktp d razia, nothing to lose deh, plng ga bs liat puncak monas dr kejauhan)

Still today, aku liat seorang ptgs busway brseragam di semprot sm seorang bpk, yg kebetulan an expatriate. D tengah rasa malunya krn sindiran sang bpk, s ptugas mlh mkn membuat dirinya terpojok dgn tak mngindahkan teguran si bpk yg dgn semangat memuntahkan kata2,“kamu itu seorang petugas, berseragam pula, bukannya kamu seharusnya kasi contoh yg baik dgn peraturan yg departemen kamu buat sendiri??”. Nah kena deh, aku ikut trtawa brsama pnumpang lain yg takjub dgn keterusterangan s bpk, miris memang. Mungkn kt blm siap mnghadapi kebiasaan bangsa eropa yg terbiasa mengucapkan hal2 secara langsung tanpa tedeng aling2.

And is home.. to everybody aku blg. Mulai dr yg berdasi dan yg tak punya pelindung kaki, mulai dr yg d bukain pintu setiap pagi sampai yg tak punya pintu utk d tutup. Mulai dr yg berseragam smpai yg hanya bersolo baju. Mulai dari sabang sampai merauke… Home to every nation (bhkan d tnh abg begitu bnyak transaksi yg dlakukan dlm bahasa planet).

Kota ini bgtu menarik bnyk hati, ada yg hanya utk memiliki status by investing money on an exclusive place to live, though you’re not living there. Ada jg yg hanya brharap asal punya sepasang roda utk menarik gerobak sampah. Is it a home to me? Ada ungkapan yg pernah aku baca (atau dengar?) “Home is where your heart is”. Lalu aku brpikir, heart is smthing you can never venture. Jika hati adlh apartemen megah, prkantoran eksklusif, klub2 mahal, kios kain d pasar senen, gerobak sate, atau malah sebuah mangkuk yg selalu d tadahkan… It is home then. Apakah kota ini akn jd rumahku? (mngingat aku tak prnah berharap dtg kemari, this is a ridiculous question for me), atau bisakah jd rumahku? (bnyk yg angkat dagu hanya dgn blg ‘gue anak jakarta loh’ hehehe). This place is a dilemma. But I know, I’m still struggling and my heart is somewhere out there, calling for a home to rest…

Senin, 19 Juli 2010

Ijen...


Banyuwangi.. apa yg kutau ttg kota ini? tak ada. Sendiri, yg kutuju benar-benar hanya dia. Dari Arjosari Malang, menumpang bus malam yg berganti pd tiga terminal berbeda dengan Rp.40.000,- aku berkunjung. Terminal Karangente kudapati pd jam 07.30 pagi hari dengan kaki kram, hasil dari terjepit berdesakan selama 3 jam pd bus pindahan terakhir. Pantesan harganya tdk sama dgn yg tertera pd papan informasi Arjosari. Dari sini Karangente ke Paltuding, ada bnyk ojek yg menunggu, dgn kisaran harga Rp.75.000,- - Rp.150.000,-. Bisa jg hanya sampai Licin, lalu menumpang truk pengangkut belerang yang mudah2an tdk pake bayar. Aku beruntung penumpang pertama ojek yg k naiki sehingga harga Rp. 75.000,- cukup, plus Rp.5.000,- buat secangkir kopi si bpk ojek.

Jalanan ke Paltuding cukup membuat repot. Aspal yg hancur, batuan besar kecil berserak, bahkan pd beberapa tanjakan curam yg menyebabkan aku hrs berjalan sedikit mendaki. Jalanan ini jg sukses membuat lengan si Bpk ojek letih memegang setir dan harus berhenti sejenak untuk mengurutnya. Hanya sekitar 20 kilo, sepertiga jika dibanding naik Paltuding lewat Bondowoso yg 70 kilo dengan jalanan rusak yg sama, meski lebih mendatar. Pukul 08.30, aku tiba. Pos awal pendakian Ijen. Melihatku turun dr ojek, 2 orang Bpk petugas mendekati dan bertanya apakah mau naik dan berapa jumlah rombonganku. Mendengar jawaban aku datang sendiri, dan tetap berniat naik meski sudah waktunya orang turun dari pendakian, para Bapak petugas ini sedikit heran. Begitupun, mereka cukup ramah. Apalagi tau aku datang dari Sumatera hehehe, belum daftar, malah sudah ditawarkan untuk ikut pulang ke banyuwangi dengan mereka saja nanti sore. Benar2 anugerah, mengingat sepanjang jalan ke Paltuding aku mereka-reka dengan apa aku harus pulang ke terminal lg nantinya.

Mendaftar di pos, aku memulai pendakianku yg setelah diyakinkan Bpk petugas akan sangat aman, aku merasa mantap. 3 kilometer sampai kawah, oke. Jalur ke atas sangat lebar, dan rapi karena pinggirannya kelihatan baru di bersihkan. Ada beberapa pos peristirahatan yg dibangun dari batu.

30 menit pertama, aku berjumpa seorang Bpk penambang yg turun memanggul belerang pertama-nya hari itu. Ku ajak dia berhenti dan kami sarapan roti bekalku yg belum kusentuh dr fajar tadi. Beberapa saat berikutnya, aku berpapasan dengan mereka yang mendaki pada dinihari. Dari jumlah seluruh mereka yg turun, aku menghitung hanya ada 6 atau 8 orang pribumi, selebihnya adalah wisatawan asing. Wow.. ini kawah lebih dikenal bangsa lain rupanya.

Sesampai di Pondok Bunder (2214 mdpl, 2 kilo), pos penimbangan belerang sekaligus pos tidur para penambang, aku memutuskan mengisi botol dng teh dan makan mie gelas. Bpk guide yg kutemui bersama rombongannya blg, itu bagus karena aku sdh memulai siangan, maka mengisi perut adalah jln paling bijak mengingat angin akan mulai membawa bau belerang yang mencekik kemana2.

Dari sini, pak Imam, salah seorang penambang menawarkan utk menemani sampai ke kawah. Sedikit enggan, aku memulai perjalanan 1 kilo lagi menuju bibir kawah. Mulai banyak pemanggul belerang yg kutemui, meski menurut pak Imam ini hari sepi, karena para penambang harus jum'atan. Tidak lagi mencari sunrise, aku hanya berkeinginan melihat aktivitas penambang sampai ke kawah. 2x sehari, dengan beban 60-80 kg, dihargai Rp.600 per kg para penambang harus puas. Itu belerang di alirkan dari kawah, ditampung pada tong-tong besi untuk dibekukan dan dipindahkan pada bakul-bakul panggulan. Di bawa naik ke atas sejauh 750 m dengan jalurnya yg curam dan berbatu rapuh. Dari bibir kawah, dibawa turun 3 kilo ke Paltuding untuk kemudian d angkut truk-truk ke surabaya. Betapa butuh perjuangan.....

Menimbang-nimbang, akhirnya aku turun ke kawah. Bersama pak Imam, aku mendengar cerita seorang turis yg jatuh dan meregang nyawa saat mengambil photo para penambang bebrapa tahun lalu. Selain asap belerang, batuan rapuh ini menjadi momok menakutkan saat turun ke pusat penambangan di bawah. Cukup curam. Ditambah harus memperhatikan arah angin, yg berubah-ubah menyebabkan asap belerang tidak tentu pd satu arah. Harus hati-hati, sebab menghirup dapat berarti kematian. Tapi menakjubkan buat para Bpak ini, yg sudah demikian kebal terhadap uap belerang sehingga mereka hanya perlu memakai masker plastik atau handuk basah untuk melawan uap belerang tersebut, setiap harinya.

Kawah dengan air kehijauan, di bumbui kabut memutih menutup danau.. Menakjubkan. Dengan ukuran sekitar 900x600 m, ini adalah kawah dengan aktifititas penambang terbesar d asia. Mungkin d dunia. Kedalamannya 200 m. Turun ke kawah, aku satu-satunya pengunjung selain Pak Imam dan dua orang lagi yg hebatnya, sedang tidur di pondok bersebelahan dengan lokasi penyedotan belerang. Aku saja tdk mampu bernafas tanpa sapuntangan yg dibasahi terus. Ada cetakan kura2 dari belerang yang kubeli dengan harga Rp.5.000,- sebuah. Betapa murahnya. Oleh-oleh buat teman yg lucunya malah terlupa.

Aku merasa sedikit hebat, ketika pak Imam bilang tak apa menyentuh air kawah lalu di abadikan olehnya. Masih sempat aku disuguhi pemandangan luar biasa, beberapa detik, ketika kabut di atas kawah tersibak, memamerkan lingkaran danau hijau diterangi matahari meninggi dan punggungan kawah yang kokoh di seberang. Betapa indahnya. Cepat-cepat aku mengambil beberapa gambar. Tidak puas sebenarnya, tp aku hrs naik sebelum uap belerang menyulitkanku. Tak yakin aku mampu kembali sendiri, pak Imam mengantarkanku setengah perjalanan ke atas. Dan aku membalas dengan memberi Rp. 30.000,- Entah itu cukup untuk ganti penyertaannya.

Kembali di bibir kawah, aku memandang jauh ke bawah, ke arah pak Imam dan teman2nya yg sudah tak tampak. Lalu, ke kawah dengan air hijau cantik dan kabut putih diatasnya. Aku sendirian... tanpa cericit burung. Hanya desau angin, dan terik matahari yg mulai membakar. Hening kembali... hampir2 membuatku merinding. Suasana syahdu yg biasa kusuka. Ini perjalanan sendiriku, aku senang mampu melakukannya. Terimakasih Tuhan.

Turun ke paltuding, sendirian sepanjang jalur 3 kilo, hanya bertemu dua Bapak penambang, aku menikmati sajian alam. Kicau burung pada pepohonan, lompatan musang (mungkin..), derap kakiku menampar-nampar kerikil dan suara hatiku yang bercerita sendiri. Puas. Aku menikmati makan siang yg terlambat di warung sekitar area pos. Rp.8.000,- aku mendapat sekerat daging, tempe, sambal dan sayuran segar. Ditambah segelas teh. Bahkan pada keadaan kantong hampir kosong, aku sedikit menyesalkan betapa murahnya makanan itu.

Aku pulang dengan Bpk petugas pos, rumahnya di Licin. Sepanjang jalan, aku terkantuk2 sembari di dongengi kisah-kisah pertemuan si Bpk dengan berbagai macam turis lokal dan mancanegara. Dia sedang belajar bahasa inggris, dan sebentar lagi dia kursus bahasa perancis. Dia menyayangkan teman2nya yg tdk mau berusaha belajar, meski setiap hari harus dihadapkan dengan wisatawan mancanegara. Saya jd sedikit repot, katanya.

Aku sampai di Licin, terimakasih Bapak. Kembali naik Ojek aku mencoba stasiun Karang asem, tetapi kereta baru berangkat sore dan aku tdk mau kemalaman. Aku meminta Bpk ojek mengantarku kembali ke Karangente, mengambil bus jurusan malang. Si Bpk yang memiliki putra tunggal, sangat bangga bercerita. Putranya sdh menjadi tour guide beberapa tahun, membawa rombongan turis luar. Putranya tidak kuliah, dan belajar bahasa inggris secara otodidak. Mbak kuliah? tanyanya. Ya, kujawab. Wah hebat... kenapa td tdk mampir dulu kerumah saya ya, katanya. Anakku pintar mbak, bs bahasa inggris. Dia pintar sekali tenses, ktnya. Dan aku terbahak diam di belakangnya, bertanya-tanya apa si Bapak tau apa itu tenses. Hingga 1o menit kemudian tiba di terminal, dia masih bercerita mengenai putranya. Oh hidup yang indah. Rp. 30.000,- aku membayar.

Pukul 05.00 sore. Aku pulang dengan ongkos yang lebih murah ke kota Malang. Hebatnya, bus rusak di tengah jalan dan alhasil, aku tiba pukul 02.00 dinihari. Dengan ojek Rp.20.000,- dari Arjosari pulang ke Sanggar, mendapati rumah hening dan Belanda menang atas Uruguay. Hebatt....

Senin, 05 Juli 2010

Candu itu...


Ini pagi..lg bersiap. Semua sudah, td malam spanyol menang. Hebat. Di sekitarku semesta bergerak, hari ini cerah. Ah, sedikit cemas aku meraba lutut kiriku. Masih nyeri. Hasil pendakian sebelumnya. Tak apa, aku bergumam. Kali ini pasti terlupa, di luar sana akan banyak hal mengisi nyeri itu hingga pasti terlupa.
Perlahan, melewati ladang apel yg berbuah kering dan masam, terlintas gambaran tempat yg akan dituju. Lukisan indah mulai tercipta, serasa tak berujung. Dan ini masih awal. Perjalanan dimulai, berderap langkah sol sepatu baru memenuhi pagi yg tak lagi hening. Barisan warna warni ransel dan kostum bergerak menghiasi hari. Senyumku melebar, ini aku.. mulai bertamu.

Seperti berkali sebelumnya, langkah pertama selalu terasa berat. Konsentrasi, aku berujar pada sendiriku. Ini lutut mulai beraksi, berapa lama? Sekelilingku mulai hidup dengan obrolan. Tiga jam pertama, barisan pepohonan dan semak belukar kiri kanan jalan. Watu Rejing. Jembatan kayu. Lalu, hamparan keindahan itu muncul depan mataku. Abadikan, pikirku. Meski toh tak kan seindah dia, Ranu Kumbolo hadir dalam jepretan2 amatirku. Ini dia, danau dalam khayalanku. Berbaring menantang hari, beralas rumput menguning pada padang luas, kami menikmati sekerat tempe dan nasi putih. Oh damainya hidup, dan masih tetap awal.

Ketika tenda berdiri, unggun mulai mengusir dingin, bintang - bintang muncul di langit malam. Ini masih Minggu, harinya Tuhan. Misa indah di tepi Ranu (thanks Mo... :)), ada hening mencipta. Hening yg anggun, sebab kali ini kami berdoa untuk mereka yg pernah menikmati tempat ini dan tak pernah kembali. Itu bintang-bintang di atas masih menunggui. Dalam candaan hangat, bulan keperakan muncul. Menghias malam yg terlanjur indah. Bulan di atas danau. Dulu sekali, ada Bulan sebesar lapangan bola muncul di atas bukit samping rumah oppungku. Bulan dalam sinar putih cemerlang, seolah menghisap kampung kecilku dalam kilauan warnanya. Dalam mata kanak2ku tak ada langit seindah malam itu. Kali ini, aku harus merubah pikiranku.

Pagi di danau, tanpa terburu kami menikmati sajian Sang Pencipta.Hangat mentari. Damai. Ada tawa hangat tanpa beban melintasi pendengaranku. Ya, tempat ini indah. Saatnya melangkah lagi. Tanjakan itu menjanjikan cinta yang urung datang. Lagi, egoku tak mudah percaya, aku menoleh. Danau dari atas sini lebih indah dari pesona tanjakan itu (masih sj seperti Thomas). Di kejauhan, padang berbunga ungu menyambut. Siluet sang tuan rumah pun telah tampak di kejauhan. Oro-Oro Ombo. Mengagumkan pada bawah langit biru. Menyusuri setapak rangkaian pucuk-pucuk ungu, Cemoro Kandang menghadang. Jajaran cemara bak barisan serdadu waktu, menenggelamkam kami dalam teduh siang. Ada stroberi hutan menghibur langkah-langkah yang kerap terhenti dihantam letih. Manis dan asam. Eh, ini bagai petualangan di negeri dongeng.

Dari pos Jambangan, sang penguasa menunjukkan dirinya. Sejenak tertegun. Agung. Wahai Khalik, seperti apa rupa bumi saat dia diciptakan? Sekali lg, jepretan2 amatiran berlaga membekukan dia dalam selembar photo. Pertanyaan pertama, itu keatas darimana pak To? Sang porter menggerakkan telunjuknya, kamu lihat garis putih memanjang vertikal diatas sana? Itu jalurnya. Kecut. Setengah melongo, kami berusaha bernego. Memutar pak, ndak bisa toh ya?? kan punggungan biasanya memutar toh?? Si Bapak tersenyum, itu jalur satu-satunya. Wah, gawat benar ini. Bakalan ada yang tak bisa lelap malam ini hahaha (sory mbon...). Kalimati sudah di depan mata.

Apa yang kau cari me? jauh2 datang ke kesunyian ini? Tak tahu aku. Tanyakan saja lagi. Tetap aku tak punya jawab. Sekali lagi, unggun menyala. Malam ini, doa2 di daraskan untuk kepergian kami yang meminta kembali. Bapa, biar kami coba bawa keindahan itu bagi yang lain. Ijinkan.
Dini hari, Arcopodo menguak pintu-pintunya buat kami. Terjal, dan semakin berat. Oksigen mulai menipis. Berkali jurang menganga di kiri kanan jalan. Teriakan peringatan saling bersambut. Kawan, semangat siapa ini yang kita bawa?

Batas akhir vegetasi. Uhh, itu lautan pasir menggunduk terjal ke atas. Mampukah? Saling menguatkan, nyala senter mulai beriringan. Pelan-pelan saja. Pasir diinjak, pasir luruh. Satu langkah maju, dan mundur menyertai langkah berikut. Tapi hei, lutut ini tak lg nyeri. Bulan cantik di atas, dan bintang fajar mengawal kami bak raja-raja dari timur. Engkau sudi kiranya akan kami dan niat ini.
Jauh, masih sangat jauh. Lalu, hantu-hantu dalam diriku mulai beraksi. Mengajakku berdansa dalam kantuk yang mulai menyerang. Gejala awal hipoksia. Ayo, lecutku. Jangan sampai kantukmu abadi. Angin dingin membantuku untuk ttp berjalan. Berhenti hanya menambah letih, dan dingin yang menyerang. Di depanku, sahabat mendaki perlahan. Di bawahku, semangat yang sama masih menyala dalam pendar senter pada pagi menjelang. Ah, mana boleh menyerah. Selangkah demi selangkah. Lagi, pasir diinjak, pasir luruh. Tak ada pegangan, alunan Padi yang tadi menghiasi setapak di arcopodo, berulang-ulang mengisi kepalaku (coba kau putar lg td wid, mungkin naik akan lebih mudah)
Bulan keperakan masih di atasku. Puncak belum lg tiba, masih jauh. Pendar fajar pagi mulai muncul. Menghipnotis langkah2 kami yg segera terhenti. Oh Bulan perak dan Fajar merah. Betapa mengagumkan menyaksikan pertunjukan akbar dari kemiringan ini. Mari, lanjutkan langkah2 kita. Terus merangkak mendekati puncak. Apa yang kau cari Me? tak tahu aku.

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka menengadah dan berkata, kesanalah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang (SY)


Untaian kata pada nisan diam di atas sana. Hai orang asing, semangatmukah yang kami bawa? Pada senyum melebar dibalut letih tak terkira, kami bersalaman. Mahameru... ini aku. Kami datang bertamu, sudilah menjamu dalam keagunganmu.
Gigiran kawah Jonggring Saloka berselimutkan asap tebal membumbung tinggi, Wedus Gembel. Putih. Dilatarbelakangi suara letusan berulang2. Menggetarkan. Semeru sudah meminta banyak. Dingin merajai tulang. Sang merah putih, dengan pinggirannya yang mulai robek dimakan waktu, berkibar gagah pada puncak Mahameru.

Aku datang dengan tangan hampa, berharap pada keheningan puncak ini, aku menemukan makna perjalananku. Teringat pertanyaan seorang Bapak pada perjumpaanku yang lalu. Apa yang kau cari saat datang ke keheningan seperti ini? Adakah ketenangan? yang menjadi impian setiap mereka yang diperbudak diri? Waktu itupun aku masih tidak tahu.
Di puncak ini, aku mendapati. Tak ada yang aku cari. Aku merasa kecil pada bawah langit maha luas, dan itu sudah cukup untuk membuatku bersyukur. Atas anugerah alam ini. Atas kaki ini. Terima kasih Bapa.

Abadikan. Abadikanlah lagi. Bawa untuk mereka yang belum sempat berkunjung.
Jalanan menurun, curam. Sekali lagi... batas nyali di uji dalam kelelahan tiada tara. Tapi, aku bangga. Banggaku ada pada sahabat-sahabat seperjalanan. Wajah-wajah letih bersinar dalam kebahagiaan. Kita sudah tiba teman. Bukan untuk menaklukkan, karena pada akhirnya Sang Mahameru tetap akan berdiri kokoh. Katakan kita berkunjung. Membawa pulang rasa bangga untuk diri dan sekitar.
Pada jalanan menurun, aku menoleh. Lagi. Wahai, Kau yang berdiri tak tertandingi. Masih aku rindu mencumbu. Nanti, satu kali lagi.

Kamis, 10 Juni 2010

Satu senja...

Lagi, mampir ke dusun Nelayan, sama seperti berkali sebelumnya. Beranjak ke rumah sang ketua baru, pak Sarbaini namanya. Menyerahkan lembaran surat yang diperlukan untuk kegiatan berikut, menjelaskan detail yg diperlukan, berlagak pintar haha. Sama seperti sebelumnya, rutinitas, tak terlalu beda. Bau arang, amis udang. Bu Yati sang istri, menyuguhkan teh.. malu-malu menolak halus, toh teh habis tak lama kemudian. Obrolan dimulai, basa dan basi akhirnya pikirku. Tapi terbit ide, pak Sarbaini akan membubu udang, aku ikut.
Sore biasa, perlahan mulai tak lagi. Dayung sampan 15 kaki, mulai berkayuh. Juga ini bukan pertamakali. Aku sudah pernah, dulu sewaktu memonitor lahan penghijauan bakau, layaknya pejabat memonitor penggunaan dana yg sudah dahulu di korup. Kali ini tidak untuk itu, hanya membubu. Bertiga mengisi sampan, dekat saja, hanya di bantaran bakau yg sudah tak ada. Pak Sarbaini mulai bercerita, bubu yang ditanam ada sembilan, diambil dua kali dalam 24 jam, jaring diturunkan juga dua kali. Dalam musim pasang laut dua kali dalam satu bulan. Mengikuti bantaran sungai, ada ikan belanak melompat-lompat lucu. Obat bengek kata pak Sarbaini, dipanggang lalu makan, sederhana dan pasti sembuh.
Bubu pertama, diikat pada sebatang kayu, ditonggak kan ke dasar sungai, ikatan bubu pada ujung satunya menyambung pada lubang di jaring yang di pasang melintang di mulut paluh. Menghalangi udang melompat keluar saat air pasang menyurut. Udang terjebak pada lubang bubu, berkumpul membentuk kawanan terperangkap. Rejeki pak Sarbaini, uang jajan anak dua, satu es de satunya es em pe. Belanja sehari, masih bisa simpan kalau orang rumah pintar membagi katanya. Untuk apa pak? (stupid question) Uang ujian anak, minggu depan, bisa seharga tangkapan sembilan bubu. Cukuplah, tak mungkin berkekurangan. Sungai ini sangat baik, tidak boleh ambil semua. Masih harus berbagi.
Dulu, pak Sarbaini ke laut lepas. Tangkapan banyak, ikan udang memenuhi kapal, meski kadang juga pulang tanpa membawa apa-apa. Di laut segalanya lebih berat. Jala dilempar, mengayun mengikuti alun ombak. Harus sabar sampai ikan udang mendekati. Jika angin menghembus membawa ombak tinggi, masih tak apa. Menjadi was-was kalau dia memecah ombak memutih di atas kapal. Bisa tenggelam katanya. Kalau jala sudah dilempar, saat laut mengamuk pemberat jala menjadi penyelamat kapal. Maka harus bertahan, tak bisa lalu kabur begitu saja. Pak Sarbaini bercerita, dalam hati tentu tak henti dia merapal doa-doa yang bahkan tak pernah dihapal. Ingat anak istri pak? Wah, siapa bilang? Hanya ingat untuk berpasrah, dengan janji esok tak akan melaut lagi. Tobat. Namun, saat laut tenang, angin lembut merayu, sudah mulai lagi mempersiapkan kail dan jala. Laut itu keras, setelah berkali berjanji, pak Sarbaini memutuskan mencari udang saja di sungai. Kapal diam, dipakai bila pak Kades perlu memuaskan hobi memancingnya. Atau juga orang berpunya lainnya.
Bubu ketujuh, masih 1 kg. Kalau hasil berkurang, besok tak usah mengangkat bubu katanya. Bisa mencari kerja di rumah saja, memotong bakau misalnya untuk dijual di dapur arang. Sembilan bubu, satu kilo udang, tidak cukup untuk anak sekolah. Bubu terakhir, pak Sarbaini harus menyelam sedikit. Tambahan 1-2 ons, cukuplah hari ini. Nanti tengah malam mau menaikkan jaring yang tadi diturunkan. Besok pagi pagi, sebelum matahari mengintip baru membubu lagi. Mungkin hasilnya akan lebih banyak. Biasanya begitu.
Penerimaan, itu yang kupelajari sore ini. Alam memberi sekehendaknya. Tergantung manusia memaknai pemberian. Saat kita tidak menghargai, menghabiskan bakau tempat bertelur udang-udang, alam memberi sedikit, semampunya. Keikhlasan, itu juga aku dapati dalam diri bapak didepanku. Saat hasil bubu tiada karena keduluan tangan jahil, ikhlas adalah satu-satunya jalan. Tidak perlu marah, mungkin dia lebih memerlukannya hari itu, harus berbagi. Dengan begitu, hatipun tetap akan bahagia. Nanti, kita akan goreng ini udang tangkapan, pakai bumbu kecap pasti lezat. Ah, terburu kami tolak. Satu kilo, uang ujian, jajan anak dua, istri menanti hasil tangkapan. Tidak mungkin tega menerima tawaran menggiurkan itu. Bapak di depanku tersenyum, tidak apa jawabnya. Sekali-kali kan tak apa, besok mungkin belum rejeki. Lagi – lagi, ikhlas.
Sore indah, tadi ada senja jatuh ke permukaan sungai. Harum udang digoreng merajai udara. Senja itu berenang – renang, menimbulkan kilau keemasan. Hmm, terbayang rasanya duduk di atas sampan kecil dalam bayangan kilau itu. Santapan malam yang sangat lezat, dengan ikan asin dan sambal udang. Terasa lebih nikmat, karena tersaji dari hati yang hangat menerima. Sempurna. Sore ini sungguh sempurna, Tuhan hadir diantaranya. Menjadi tidak biasa, sore ini terasa penuh cerita

Minggu, 25 April 2010

Nanti…

Aku mau menikmati segelas kopi
Di temaram senja
Bersama sepiring ubi goreng, dan selimut kaki

Nanti…
Aku mau menikmati senja
Bersama tetes embun terakhir
Sambil mengingat-ingat kamu

Nanti...
Aku mau menghabiskan malamku
Bersama alunan jangkrik
Dan suara-suara malam
Di peraduanku yang empuk

Nanti…

Hari ini,
Aku mau berpeluh
Menantang hari, mandi bersama terik mentari
Aku mau mengaduh
Bersama dingin malam, merasuk tulangku
Menapaki kamu yang membawaku ke puncak semangatku

Dimana waktu aku hentikan sejenak
Sebab indah ini tak cukup ruang dimataku
Sebab rasa ini tak bisa hanya milikku
Sebab alam ini akan menyesaki dadaku

Dalam syukur yang tak terkira
Dalam tangis yang jadi tawa
Dalam merdekaku
Dalam merdekamu…
(Langkat, april ’10)

Kamis, 22 April 2010

Ulee lheu

“Dulu udeueng-udeueng ini berkembang biak amat cepat,” pak tua itu membuka percakapan,” sampoe h’an jeuet takira” katanya sambil tersenyum simpul.
“Kalau musim panen tiba, dua ekor sudah cukup buat biaya makan sehari” tambahnya.
“Sekarang sudah tidak banyak lagi ya pak,” kataku sembari menjulurkan diri ke arah kolam dangkal itu,”pasti pada kabur ke laut ya..”
“Mungkin saja,” katanya, masih sibuk menggayungkan serokan plastik itu ke air yang keruh, menjaring bayi-bayi udang yang akan kami gunakan sebagai umpan dalam rencana memancing kami sore itu. “Yang tinggal sekarang tinggal beberapa ekor induk dan jentik-jentiknya.”
“Gak sayang, pak” tanyaku,” Kan, masih bisa diternakkan buat dijadikan induk-induk baru.”
Dia tersenyum,”Pakriban lon pajoh aneuk dara,” katanya, ”Sebelum kejadian itu, kolam ini sedang akan dipanen.”
“Benar pak?”, temanku ikut nimbrung,”panen besar ya, pak”
“Ya, yang terbesar malah” kata pak tua sambil memasukkan seekor anak udang lagi ke kantongan plastik berisi air yang kami bawa sebagai tempat udang-udang kecil itu bermain sebelum akhirnya dikorbankan ke laut lepas untuk dimakan ikan-ikan yang lebih besar.
Sambil mengamati mereka berenang-renang di dalam plastik kecil itu, aku berpikir betapa kami amat tega mengorbankan mereka demi kesenangan kami sendiri. Aku sedikit merasa bersalah, tapi kemudian berpikir itu kan hukum alam, yang kecil pasti jadi makanan yang besar, seperti orang-orang tak berpendidikan yang sering jadi sasaran penipuan tuan-tuan tanah, wah, aku jadi ngelantur mikirnya.
“Berapa banyak pak?” aku tersadar kembali oleh pertanyaan temanku.
“Lebih siribee ekor,” katanya” tapi galumbang raya membawa semua ke laut lepas”, sekarang dia menegakkan dirinya, matanya memandang kekejauhan, ke lautan Hindia yang terbentang luas di depan kami.
“Sekarang tidak ada yang tersisa, tidak juga rumah bapak,”katanya seraya menunjuk kearah gubuk kecil terbuat dari bambu dan tiang-tiang sisa bangunan yang di lemparkan ombak besar itu ke darat. Aku mengamati bangunan kecil yg penuh dgn tempelan karung bekas disana sini, mungkin berfungsi utk menghalau angin malam yg keras.
“Keluarga bapak bagaimana?”tanyaku sembari menghindari pelototan temanku yang tampak tak setuju dengan pertanyaanku.
“Semua habis,”katanya sambil tersenyum lelah, sekarang aku dapat melihat kesedihan yang teramat sangat diwajah tuanya yang keriput.”Istri dan anak perempuan bapak satu-satunya dibawa arus deras itu entah kemana”
“Tidak selamat?”kataku, yang lebih merupakan pernyataan daripada pertanyaan, masih dalam pelototan temanku.
“Gelombang itu terlalu kuat, hingga bangunan kokoh pun roboh dalam sekejap, hanya karena pertolongan Allah saja maka saya masih bisa bernafas disini.” katanya,”Kalian lihat tupi aceh di jambo sana itu?”tanyanya, sambil menunjuk kesatu arah dikejauhan. “Kesanalah bapak dihanyutkan galumbang ganas itu,”
Kami menekur memandang kekejauhan kearah yang ditunjukkan bapak itu, berpikir betapa jauhnya jarak itu dari tempat kami berdiri. Aku mencoba membayangkan keadaan saat itu, hatiku langsung merasa kecut.
“Meski seorang perenang handal, tidaklah menjadi jaminan dia akan selamat pada waktu itu. Hanya izin Tuhan semata yang dapat menolong saat itu. Saat ini Bapak berserah saja kepada-Nya, mungkin ada banyak hal yang belum bapak selesaikan di dunia ini, itu sebabnya Dia masih memberikan kesempatan kepada bapak sekali lagi untuk menyelesaikannya,” katanya dengan mata tuanya yang lelah.
“Bapak bisa menemukan mereka?” tanyaku lagi, kali ini temanku tidak memelototi aku, melainkan antusias mendengarkan cerita pak tua itu.
“Tidak, ada banyak orang yang tidak menemukan jasad anggota keluarga mereka. Bapak hanya berharap alam berbaik hati dan membawa mereka ke tempat yang layak sebagai tempat persinggahan terakhir mereka” jawabnya, sekarang wajah itu bertambah kelam. Gurat-gurat kesedihan tampak jelas diwajahnya.
“Maaf pak, saya tidak bermaksud membuat bapak sedih dengan mengingat-ingat kejadian itu.” Kataku dengan nada menyesal.
Dia tersenyum lembut,” tidak apa-apa, ” katanya bijak, “kalian mengingatkan bapak terhadap anak perempuan bapak. Dia anak yang baik dan baru saja menamatkan sekolahnya di akademi keperawatan, dan sudah mendapatkan tawaran bekerja di salah satu rumah sakit besar di kota banda ini.” katanya dengan senyum bangga,” tapi, Allah berkeuheundak lain…” Kali ini aku dapat merasakan nada sedih dalam suaranya.
Kami sudah sama sekali melupakan udang-udang kecil itu, larut dalam kesedihan yang ditawarkan alam kepada jiwa-jiwa kami.
“Wah, jadi keasyikan cerita ya,” kata si bapak dengan senyum kecil yang sedikit di paksakan, “Nih, udang-udang kalian, nanti keburu pingsan sebelum sempat di jadikan umpan. Ikan-ikan tidak suka umpan yang tak bernyawa,”katanya tersenyum.
“Iya deh, pak”kataku sambil meraih kantongan plastik itu,” lima ribee ya, pak”
“Bolehlah,” katanya,”lainkali, kalo butuh umpan lagi datang saja kemari ya.”
“Pasti, pak” jawab temanku, dia sudah mulai berjalan ke arah laut.
“Kalo ada diskonnya, boleh saja pak.” Kataku sambil tertawa kecil.
“Wah, kamu ini…”kata si bapak seraya mencubit pipiku, sejenak aku tertegun dan merasakan kemarahan yang tiba-tiba karena tindakan yang kuanggap kurang sopan itu. Lalu, aku melihat mata tuanya tersenyum lembut, dan tahulah aku, kerinduannya akan anak perempuannya yang mendorongnya berbuat itu. Seketika itu pula, rasa kesalku berubah menjadi rasa hormat dan kagum yang sangat kepada dia. Betapa dia amat kuat menghadapi kejadian yang amat menyedihkan itu, dan betapa dengan penuh ketetapan hati dia menjalani hidup yang akan dilakoninya sendirian sejak saat ini. Apakah kesepian akan membunuhnya? Aku berjalan menjauh dipenuhi pikiran itu. Aku menoleh kebelakang dan melambaikan tanganku,
” Teurimong geunaseh, pak” teriakku dari kejauhan. Sambil tersenyum dia melambaikan tangannya dan meneruskan mencari-cari anak-anak udang di kolam dangkal itu.
Betapa alam dapat demikian tidak bersahabat dengan kita. Aku memandang samudera luas dan berpikir betapa indahnya saat laut tenang seperti saat ini. Dan gema takbir dikejauhan mengingatkanku, adalah Tuhan yang punya kuasa atas segalanya, dan kita hanyalah domba-domba yang sepatutnya berserah diri senantiasa kepadaNya.
Aku tersenyum dan diam-diam mengucap doa dalam hati, terimakasih Tuhan buat bapak tua itu yang Kau bolehkan untuk menikmati sedikit kebahagiaan sore ini.

Banda Aceh, 26 september 2005
(Buat pak tua di tepi Ulee lheu, terimakasih telah memberikan harapan di hati kami)

Rabu, 07 April 2010

Mereka.. presidenku...


pangerannya pak yunus

dr tepi sikundur

anak2 dusun nelayan

anak2 lumban hariara, aek kanopan

Rabu, 31 Maret 2010

Sesaat...

Jadinya,

Sepi itu agung….

Ada kenikmatan disana,

angin…

langit…

aku …

malam…

ssstt…18 sept 05

Selasa, 09 Februari 2010

A brother in the distance???

It wasn't long ago when I was back in Banda Aceh, met a girl in a Sunday afternoon service and greeted her in my local language. Oval shaped face, big brown eyes, a bit dark skin and short straight hair, she looked at me calmly and amazed, probably with my thought of her as a local fellow. Since I was accustomed to greet new face at the end of a service, I chose this freshly face young lady who did not understand a word I said. She smiled at me, and softly said 'I am sorry, can't understand the language, I am a Filipinos'. Gosh, my face must be red, because she suddenly added, 'It's okay, people often think of me as an Indonesian...'

I dont think I would be different anyway, why I talked to her in the first catch with my local language was because I have no doubt she comes from a place around the hills of North Tapanuli or a huta by the side of my beautiful Lake Toba. It reminds me when I spotted a column on a newspaper (forgot already) about two weeks ago, where I read a story of a local tribe in Philippine still holds a tradition to unearth the corpse and rebury the bones in a new 'house', similar procession to what Bataknesse called 'Mangukkal Holi'.

A coincidence? could be, however this encourage me to make a little explorations on the history of Bataknesse. That would be good to know the history of our own ancestor, a way to pay respect to them.

Minggu, 07 Februari 2010

Akhir tahun di Argopuro...

Gunung Argopuro di Jawa Timur, berdiri gagah di dataran tinggi Yang seluas 14.177 Ha, dgn tinggi 3.088 mdpl. Sebenarnya kurang cocok menjelajah daerah ini di akhir tahun, sebab kawasan yang kaya akn cemara dan edelweis ini tidak dapat menyuguhkan keelokannya pd bulan desember. Tetapi harta karun peradaban zaman majapahit berupa bekas reruntuhan istana dewi rengganis yg terdapat di puncak selatan; bersebelahan dengan puncak argopuro, plus kesempatan bertemu sahabat-sahabat baru merupakan daya tarik tersendiri bagiku. Ini perjalanan pertama ke propinsi yg sarat akan hal2 mendebarkan ini :)

Cemara yg terbakar kemarau

Argopuro dapat ditempuh dari 2 jalur, Desa Baderan di Situbondo atau lewat Bremi di Probolinggo.Kedua jalur ini memiliki kesulitannya tersendiri, Bremi dengan jurang, hutan lumut, pepohonan yg rapat dan Baderan dengan tanjakan yg seolah tak ada ujungnya. Menjelajah ke kawasan ini juga berarti harus mempersiapkan fisik yg kuat, karena jalur yg cukup panjang dan melelahkan, tanaman dancuk'an yg siap menyengat saat kita lengah serta hujan bulan desember yg turun dan berhenti tanpa peringatan.

Tanaman dancuk'an

Memulai dari jalur Bremi, dengan medan bergelombang selama hampir 7 jam menuju puncak Yang, melewati hutan lumut, kami dihadapkan dengan kemistisan Danau Taman Hidup. Unik dengan kabut yang senantiasa menutupi permukaannya, namun indah dengan padang rumput yang mengitari. Danau ini adalah surga kehidupan bagi beragam jenis satwa, rusa, kijang, macan, yg dipercaya masih hidup di kawasan ini.


Danau taman hidup
Beranjak dari Danau Taman Hidup, perjalanan semakin memasuki kelebatan hutan cemara yang berselimutkan lumut hijau tebal. Sebelum mendapati Aek Keneng yg mengalir sepanjang tahun, ada tempat yg disebut Bukit Sisinyal, dimana ada satu spot; ditandai dengan sebuah paku yg ditancapkan di batang satu pohon cemara, disebut dapat menerima sinyal telepon. Aku mencoba dan tak dapat, karena harus memanjat sedikit untuk dapat mencapai spot yg dimaksud. Akhirnya, Aek Keneng dengan air yang manis menyejukkan tenggorokan. Hanya berupa aliran sungai mungil, namun tak pernah kering meski di musim kemarau. Berjalan sekitar 2 jam, kami tiba di savana luas tempat kami mendirikan kemah malam pertama.

Pos pendakian sisentor

Satu jam dari savana, kami tiba di sisentor (bukan ci, sebab ini lidah madura :) .. ), pos pertama pendakian, tempat yg nyaman dengan aliran sungai dan perlindungan pepohonan untuk mendirikan kemah malam kedua. Setelah melepaskan penat sembari sarapan, kami meninggalkan perkemahan untuk summit attack yang terlambat (tdk lg utk lihat sunrise dr puncak). Melewati rawa embik, lorong2 cemara dan edelweis yg belum berbunga, butuh waktu 4 jam untuk sampai ke kaki puncak, dan 30 menit untuk menaiki keduaya. Argopuro dengan bebatuan terjal dan Rengganis dengan belerang yang menusuk hidung. Indah, dengan bekas reruntuhan yang terlihat jelas, membentuk apa yg tdnya merupakan pelataran, mungkin taman istana. Ada makam disana, tempat warga sekitar memberikan sesembahannya, ketupat, ayam hidup dan bunga2. Menuruni rengganis ada sebuah nisan peringatan meninggalnya seorang pendaki dr sebuah perguruan tinggi di surabaya di tahun 90-an.

Rawa Embik
Menuju rengganis

Puncak Rengganis

Kembali ke sisentor, bermalam dan melepas lelah, kami berangkat pulang. Kali ini menuju Baderan, lagi mendaki dinding bukit dan melewati padang rumput yg indah dengan pucuk2 ungu merahnya di sanding batang2 kuning. Kami bersemangat dijanjikan kemolekan sikasur, savana luas yang disebut2 pernah menjadi lokasi pendaratan pesawat zaman penjajahan jepang. Dan disinilah, sikasur, dengan padang rumput luas, sungai mengalir tenang, dipenuhi selada air yang segar, lalapan makan siang, kami melepas lelah sejenak. Sejauh mata memandang adalah keindahan dalam warna hijau yang cantik berpadu langit biru luas. Terima kasih Tuhan..

Alun alun Sikasur dan sungai kecilnya

Perjalanan pulang, melewati mata air dua, banyak menurun meski masih ada satu dua tanjakan. Sebelum pos terakhir, masih ada pemandangan perkebunan penduduk dengan disebelah kiri jurang yang nun jauh di seberangnya hamparan hutan luas dengan air terjun bersilangan menambah keagungan senja. Lalu tiba di Bremi, membersihkan diri untuk kemudian beranjak pulang menuju surabaya, hebat.

Dan perjalananku belumlah berakhir..
(photo2 on behalf of friends...)

Selasa, 26 Januari 2010

Tangkahan.. setahun kemarin



Berlokasi di Kabupaten Langkat, sekitar 4-5 jam naik bus dari medan, hutan ini masuk dalam kawasan ekosistem leuser. Kaya dengan beragam jenis kupu-kupu dan rumah bagi banyak satwa. Yang menarik, hutan ini dikelola dinas kehutanan Kab.Langkat, jd lebih terjaga dan teratur. Disini jg ada penangkaran gajah, mata air panas, gua kelelawar, hutan hijau yg eksotis, sungai jernih bercampur harum kemiri dan udara segar yang akan membuat betah. Ada cukup pondok2 penginapan, sangat tenang dan asri. Jika kau bersantai d beranda kayu, suara2 malam akan menghibur dengan ceria.