Kamis, 10 Juni 2010

Satu senja...

Lagi, mampir ke dusun Nelayan, sama seperti berkali sebelumnya. Beranjak ke rumah sang ketua baru, pak Sarbaini namanya. Menyerahkan lembaran surat yang diperlukan untuk kegiatan berikut, menjelaskan detail yg diperlukan, berlagak pintar haha. Sama seperti sebelumnya, rutinitas, tak terlalu beda. Bau arang, amis udang. Bu Yati sang istri, menyuguhkan teh.. malu-malu menolak halus, toh teh habis tak lama kemudian. Obrolan dimulai, basa dan basi akhirnya pikirku. Tapi terbit ide, pak Sarbaini akan membubu udang, aku ikut.
Sore biasa, perlahan mulai tak lagi. Dayung sampan 15 kaki, mulai berkayuh. Juga ini bukan pertamakali. Aku sudah pernah, dulu sewaktu memonitor lahan penghijauan bakau, layaknya pejabat memonitor penggunaan dana yg sudah dahulu di korup. Kali ini tidak untuk itu, hanya membubu. Bertiga mengisi sampan, dekat saja, hanya di bantaran bakau yg sudah tak ada. Pak Sarbaini mulai bercerita, bubu yang ditanam ada sembilan, diambil dua kali dalam 24 jam, jaring diturunkan juga dua kali. Dalam musim pasang laut dua kali dalam satu bulan. Mengikuti bantaran sungai, ada ikan belanak melompat-lompat lucu. Obat bengek kata pak Sarbaini, dipanggang lalu makan, sederhana dan pasti sembuh.
Bubu pertama, diikat pada sebatang kayu, ditonggak kan ke dasar sungai, ikatan bubu pada ujung satunya menyambung pada lubang di jaring yang di pasang melintang di mulut paluh. Menghalangi udang melompat keluar saat air pasang menyurut. Udang terjebak pada lubang bubu, berkumpul membentuk kawanan terperangkap. Rejeki pak Sarbaini, uang jajan anak dua, satu es de satunya es em pe. Belanja sehari, masih bisa simpan kalau orang rumah pintar membagi katanya. Untuk apa pak? (stupid question) Uang ujian anak, minggu depan, bisa seharga tangkapan sembilan bubu. Cukuplah, tak mungkin berkekurangan. Sungai ini sangat baik, tidak boleh ambil semua. Masih harus berbagi.
Dulu, pak Sarbaini ke laut lepas. Tangkapan banyak, ikan udang memenuhi kapal, meski kadang juga pulang tanpa membawa apa-apa. Di laut segalanya lebih berat. Jala dilempar, mengayun mengikuti alun ombak. Harus sabar sampai ikan udang mendekati. Jika angin menghembus membawa ombak tinggi, masih tak apa. Menjadi was-was kalau dia memecah ombak memutih di atas kapal. Bisa tenggelam katanya. Kalau jala sudah dilempar, saat laut mengamuk pemberat jala menjadi penyelamat kapal. Maka harus bertahan, tak bisa lalu kabur begitu saja. Pak Sarbaini bercerita, dalam hati tentu tak henti dia merapal doa-doa yang bahkan tak pernah dihapal. Ingat anak istri pak? Wah, siapa bilang? Hanya ingat untuk berpasrah, dengan janji esok tak akan melaut lagi. Tobat. Namun, saat laut tenang, angin lembut merayu, sudah mulai lagi mempersiapkan kail dan jala. Laut itu keras, setelah berkali berjanji, pak Sarbaini memutuskan mencari udang saja di sungai. Kapal diam, dipakai bila pak Kades perlu memuaskan hobi memancingnya. Atau juga orang berpunya lainnya.
Bubu ketujuh, masih 1 kg. Kalau hasil berkurang, besok tak usah mengangkat bubu katanya. Bisa mencari kerja di rumah saja, memotong bakau misalnya untuk dijual di dapur arang. Sembilan bubu, satu kilo udang, tidak cukup untuk anak sekolah. Bubu terakhir, pak Sarbaini harus menyelam sedikit. Tambahan 1-2 ons, cukuplah hari ini. Nanti tengah malam mau menaikkan jaring yang tadi diturunkan. Besok pagi pagi, sebelum matahari mengintip baru membubu lagi. Mungkin hasilnya akan lebih banyak. Biasanya begitu.
Penerimaan, itu yang kupelajari sore ini. Alam memberi sekehendaknya. Tergantung manusia memaknai pemberian. Saat kita tidak menghargai, menghabiskan bakau tempat bertelur udang-udang, alam memberi sedikit, semampunya. Keikhlasan, itu juga aku dapati dalam diri bapak didepanku. Saat hasil bubu tiada karena keduluan tangan jahil, ikhlas adalah satu-satunya jalan. Tidak perlu marah, mungkin dia lebih memerlukannya hari itu, harus berbagi. Dengan begitu, hatipun tetap akan bahagia. Nanti, kita akan goreng ini udang tangkapan, pakai bumbu kecap pasti lezat. Ah, terburu kami tolak. Satu kilo, uang ujian, jajan anak dua, istri menanti hasil tangkapan. Tidak mungkin tega menerima tawaran menggiurkan itu. Bapak di depanku tersenyum, tidak apa jawabnya. Sekali-kali kan tak apa, besok mungkin belum rejeki. Lagi – lagi, ikhlas.
Sore indah, tadi ada senja jatuh ke permukaan sungai. Harum udang digoreng merajai udara. Senja itu berenang – renang, menimbulkan kilau keemasan. Hmm, terbayang rasanya duduk di atas sampan kecil dalam bayangan kilau itu. Santapan malam yang sangat lezat, dengan ikan asin dan sambal udang. Terasa lebih nikmat, karena tersaji dari hati yang hangat menerima. Sempurna. Sore ini sungguh sempurna, Tuhan hadir diantaranya. Menjadi tidak biasa, sore ini terasa penuh cerita