Senin, 26 Juli 2010

Kalah..

Ah...
pagi menjelang dalam secangkir kopi mengepul..
masih ingatkah, waktu itu kau minta sejenak kita berbincang
tentang indahnya malam saat bulan mencoba menggoda awan

Aku katakan dunia hari ini mestinya tersenyum
kau bilang tak perlu sayangku, aku cukup senyummu
dalam selembar koran kemarin kau mengeluh
Ini kota sudah tak ramah lagi..
dan engkau pergi dalam diam

Di kebisuan kemudian..
aku memandang hari berubah merah
ketika kau kembali dalam kelusuhan petang
memandang penuh kesedihan..
sayang, esok tak perlu sajikan kopi
kita berbincang saja
esok aku tidak kemana-mana..

Medan, 26 juli 2010

Jumat, 23 Juli 2010

Jakarta, a contemplation


Tiga kata, crowded, magnificent, and home… Meski bkn utk yg pertama kali, aku ingat kmrn menjejak kaki dsini. Bingung mau tgl dmana, untungnya dah ada temn yg coba kberuntungannya dsini. Lalu, dimulailah prjalanan harianku, untungnya lg aku ga sendirian berkelana d rimba besar ini (Indonesia bgt, untung melulu). Dan kata pertama terbukti, crowded, banget… bikin pusing, ga bs nafas, pgn ninju org, pgn teriak, pokoknya bkn banyak keinginan, yg setelah d akumulasi tak satupun yg positif.

Balik k kost… aku baru tau, trnyata people living in big cities pnya cara khusus buat brkomunikasi, bah tak pernah terpikirkan olehku. Selagi aku ceroboh melakukan berbagai hal, tiba2 saja tembok ruang tamu n kmr mandi memajang “pesan hari ini”. Throw that kind of rubbish into special bag please! atau Put everything in place please! semntara setiap saat aku toh ketemu dgn sang redaktur pesan tsbt. Untk kesopanan atau sebegitu jauhkah sudah rasa berbagi kata?? mgknkah terlalu sibuk? atau malah ‘ga pntinglah buat diomongin face to face’?

Today’s schedule, balik lg nyusurin busway yg still crowded (oh yeah, this kind of transportation is so popular that you won’t expect to get a free seat for the money you spent). Beautiful day…. aku blg magnificent sbg kt kduaku, meski dlm kabut asap pabrik, still pemandangan kotak2 tinggi itu bkn aku kagum (maklum yg biasa aku liat perkampungan dgn ladang padi, dan jalnan aspal kota berbukit yg sepi dgn tahi sapi yg msh merajai jalanan). Magnificent dgn lingkaran fly over yg kerap bkn aku bngung dan hilang konsep arah hahaha… Magnificent karena kt org hidup sungguh sulit di kota ini, msh saja setiap hari berbondong para pncari nafkah ngantri d stasiun kota (biar ktnya ktp d razia, nothing to lose deh, plng ga bs liat puncak monas dr kejauhan)

Still today, aku liat seorang ptgs busway brseragam di semprot sm seorang bpk, yg kebetulan an expatriate. D tengah rasa malunya krn sindiran sang bpk, s ptugas mlh mkn membuat dirinya terpojok dgn tak mngindahkan teguran si bpk yg dgn semangat memuntahkan kata2,“kamu itu seorang petugas, berseragam pula, bukannya kamu seharusnya kasi contoh yg baik dgn peraturan yg departemen kamu buat sendiri??”. Nah kena deh, aku ikut trtawa brsama pnumpang lain yg takjub dgn keterusterangan s bpk, miris memang. Mungkn kt blm siap mnghadapi kebiasaan bangsa eropa yg terbiasa mengucapkan hal2 secara langsung tanpa tedeng aling2.

And is home.. to everybody aku blg. Mulai dr yg berdasi dan yg tak punya pelindung kaki, mulai dr yg d bukain pintu setiap pagi sampai yg tak punya pintu utk d tutup. Mulai dr yg berseragam smpai yg hanya bersolo baju. Mulai dari sabang sampai merauke… Home to every nation (bhkan d tnh abg begitu bnyak transaksi yg dlakukan dlm bahasa planet).

Kota ini bgtu menarik bnyk hati, ada yg hanya utk memiliki status by investing money on an exclusive place to live, though you’re not living there. Ada jg yg hanya brharap asal punya sepasang roda utk menarik gerobak sampah. Is it a home to me? Ada ungkapan yg pernah aku baca (atau dengar?) “Home is where your heart is”. Lalu aku brpikir, heart is smthing you can never venture. Jika hati adlh apartemen megah, prkantoran eksklusif, klub2 mahal, kios kain d pasar senen, gerobak sate, atau malah sebuah mangkuk yg selalu d tadahkan… It is home then. Apakah kota ini akn jd rumahku? (mngingat aku tak prnah berharap dtg kemari, this is a ridiculous question for me), atau bisakah jd rumahku? (bnyk yg angkat dagu hanya dgn blg ‘gue anak jakarta loh’ hehehe). This place is a dilemma. But I know, I’m still struggling and my heart is somewhere out there, calling for a home to rest…

Senin, 19 Juli 2010

Ijen...


Banyuwangi.. apa yg kutau ttg kota ini? tak ada. Sendiri, yg kutuju benar-benar hanya dia. Dari Arjosari Malang, menumpang bus malam yg berganti pd tiga terminal berbeda dengan Rp.40.000,- aku berkunjung. Terminal Karangente kudapati pd jam 07.30 pagi hari dengan kaki kram, hasil dari terjepit berdesakan selama 3 jam pd bus pindahan terakhir. Pantesan harganya tdk sama dgn yg tertera pd papan informasi Arjosari. Dari sini Karangente ke Paltuding, ada bnyk ojek yg menunggu, dgn kisaran harga Rp.75.000,- - Rp.150.000,-. Bisa jg hanya sampai Licin, lalu menumpang truk pengangkut belerang yang mudah2an tdk pake bayar. Aku beruntung penumpang pertama ojek yg k naiki sehingga harga Rp. 75.000,- cukup, plus Rp.5.000,- buat secangkir kopi si bpk ojek.

Jalanan ke Paltuding cukup membuat repot. Aspal yg hancur, batuan besar kecil berserak, bahkan pd beberapa tanjakan curam yg menyebabkan aku hrs berjalan sedikit mendaki. Jalanan ini jg sukses membuat lengan si Bpk ojek letih memegang setir dan harus berhenti sejenak untuk mengurutnya. Hanya sekitar 20 kilo, sepertiga jika dibanding naik Paltuding lewat Bondowoso yg 70 kilo dengan jalanan rusak yg sama, meski lebih mendatar. Pukul 08.30, aku tiba. Pos awal pendakian Ijen. Melihatku turun dr ojek, 2 orang Bpk petugas mendekati dan bertanya apakah mau naik dan berapa jumlah rombonganku. Mendengar jawaban aku datang sendiri, dan tetap berniat naik meski sudah waktunya orang turun dari pendakian, para Bapak petugas ini sedikit heran. Begitupun, mereka cukup ramah. Apalagi tau aku datang dari Sumatera hehehe, belum daftar, malah sudah ditawarkan untuk ikut pulang ke banyuwangi dengan mereka saja nanti sore. Benar2 anugerah, mengingat sepanjang jalan ke Paltuding aku mereka-reka dengan apa aku harus pulang ke terminal lg nantinya.

Mendaftar di pos, aku memulai pendakianku yg setelah diyakinkan Bpk petugas akan sangat aman, aku merasa mantap. 3 kilometer sampai kawah, oke. Jalur ke atas sangat lebar, dan rapi karena pinggirannya kelihatan baru di bersihkan. Ada beberapa pos peristirahatan yg dibangun dari batu.

30 menit pertama, aku berjumpa seorang Bpk penambang yg turun memanggul belerang pertama-nya hari itu. Ku ajak dia berhenti dan kami sarapan roti bekalku yg belum kusentuh dr fajar tadi. Beberapa saat berikutnya, aku berpapasan dengan mereka yang mendaki pada dinihari. Dari jumlah seluruh mereka yg turun, aku menghitung hanya ada 6 atau 8 orang pribumi, selebihnya adalah wisatawan asing. Wow.. ini kawah lebih dikenal bangsa lain rupanya.

Sesampai di Pondok Bunder (2214 mdpl, 2 kilo), pos penimbangan belerang sekaligus pos tidur para penambang, aku memutuskan mengisi botol dng teh dan makan mie gelas. Bpk guide yg kutemui bersama rombongannya blg, itu bagus karena aku sdh memulai siangan, maka mengisi perut adalah jln paling bijak mengingat angin akan mulai membawa bau belerang yang mencekik kemana2.

Dari sini, pak Imam, salah seorang penambang menawarkan utk menemani sampai ke kawah. Sedikit enggan, aku memulai perjalanan 1 kilo lagi menuju bibir kawah. Mulai banyak pemanggul belerang yg kutemui, meski menurut pak Imam ini hari sepi, karena para penambang harus jum'atan. Tidak lagi mencari sunrise, aku hanya berkeinginan melihat aktivitas penambang sampai ke kawah. 2x sehari, dengan beban 60-80 kg, dihargai Rp.600 per kg para penambang harus puas. Itu belerang di alirkan dari kawah, ditampung pada tong-tong besi untuk dibekukan dan dipindahkan pada bakul-bakul panggulan. Di bawa naik ke atas sejauh 750 m dengan jalurnya yg curam dan berbatu rapuh. Dari bibir kawah, dibawa turun 3 kilo ke Paltuding untuk kemudian d angkut truk-truk ke surabaya. Betapa butuh perjuangan.....

Menimbang-nimbang, akhirnya aku turun ke kawah. Bersama pak Imam, aku mendengar cerita seorang turis yg jatuh dan meregang nyawa saat mengambil photo para penambang bebrapa tahun lalu. Selain asap belerang, batuan rapuh ini menjadi momok menakutkan saat turun ke pusat penambangan di bawah. Cukup curam. Ditambah harus memperhatikan arah angin, yg berubah-ubah menyebabkan asap belerang tidak tentu pd satu arah. Harus hati-hati, sebab menghirup dapat berarti kematian. Tapi menakjubkan buat para Bpak ini, yg sudah demikian kebal terhadap uap belerang sehingga mereka hanya perlu memakai masker plastik atau handuk basah untuk melawan uap belerang tersebut, setiap harinya.

Kawah dengan air kehijauan, di bumbui kabut memutih menutup danau.. Menakjubkan. Dengan ukuran sekitar 900x600 m, ini adalah kawah dengan aktifititas penambang terbesar d asia. Mungkin d dunia. Kedalamannya 200 m. Turun ke kawah, aku satu-satunya pengunjung selain Pak Imam dan dua orang lagi yg hebatnya, sedang tidur di pondok bersebelahan dengan lokasi penyedotan belerang. Aku saja tdk mampu bernafas tanpa sapuntangan yg dibasahi terus. Ada cetakan kura2 dari belerang yang kubeli dengan harga Rp.5.000,- sebuah. Betapa murahnya. Oleh-oleh buat teman yg lucunya malah terlupa.

Aku merasa sedikit hebat, ketika pak Imam bilang tak apa menyentuh air kawah lalu di abadikan olehnya. Masih sempat aku disuguhi pemandangan luar biasa, beberapa detik, ketika kabut di atas kawah tersibak, memamerkan lingkaran danau hijau diterangi matahari meninggi dan punggungan kawah yang kokoh di seberang. Betapa indahnya. Cepat-cepat aku mengambil beberapa gambar. Tidak puas sebenarnya, tp aku hrs naik sebelum uap belerang menyulitkanku. Tak yakin aku mampu kembali sendiri, pak Imam mengantarkanku setengah perjalanan ke atas. Dan aku membalas dengan memberi Rp. 30.000,- Entah itu cukup untuk ganti penyertaannya.

Kembali di bibir kawah, aku memandang jauh ke bawah, ke arah pak Imam dan teman2nya yg sudah tak tampak. Lalu, ke kawah dengan air hijau cantik dan kabut putih diatasnya. Aku sendirian... tanpa cericit burung. Hanya desau angin, dan terik matahari yg mulai membakar. Hening kembali... hampir2 membuatku merinding. Suasana syahdu yg biasa kusuka. Ini perjalanan sendiriku, aku senang mampu melakukannya. Terimakasih Tuhan.

Turun ke paltuding, sendirian sepanjang jalur 3 kilo, hanya bertemu dua Bapak penambang, aku menikmati sajian alam. Kicau burung pada pepohonan, lompatan musang (mungkin..), derap kakiku menampar-nampar kerikil dan suara hatiku yang bercerita sendiri. Puas. Aku menikmati makan siang yg terlambat di warung sekitar area pos. Rp.8.000,- aku mendapat sekerat daging, tempe, sambal dan sayuran segar. Ditambah segelas teh. Bahkan pada keadaan kantong hampir kosong, aku sedikit menyesalkan betapa murahnya makanan itu.

Aku pulang dengan Bpk petugas pos, rumahnya di Licin. Sepanjang jalan, aku terkantuk2 sembari di dongengi kisah-kisah pertemuan si Bpk dengan berbagai macam turis lokal dan mancanegara. Dia sedang belajar bahasa inggris, dan sebentar lagi dia kursus bahasa perancis. Dia menyayangkan teman2nya yg tdk mau berusaha belajar, meski setiap hari harus dihadapkan dengan wisatawan mancanegara. Saya jd sedikit repot, katanya.

Aku sampai di Licin, terimakasih Bapak. Kembali naik Ojek aku mencoba stasiun Karang asem, tetapi kereta baru berangkat sore dan aku tdk mau kemalaman. Aku meminta Bpk ojek mengantarku kembali ke Karangente, mengambil bus jurusan malang. Si Bpk yang memiliki putra tunggal, sangat bangga bercerita. Putranya sdh menjadi tour guide beberapa tahun, membawa rombongan turis luar. Putranya tidak kuliah, dan belajar bahasa inggris secara otodidak. Mbak kuliah? tanyanya. Ya, kujawab. Wah hebat... kenapa td tdk mampir dulu kerumah saya ya, katanya. Anakku pintar mbak, bs bahasa inggris. Dia pintar sekali tenses, ktnya. Dan aku terbahak diam di belakangnya, bertanya-tanya apa si Bapak tau apa itu tenses. Hingga 1o menit kemudian tiba di terminal, dia masih bercerita mengenai putranya. Oh hidup yang indah. Rp. 30.000,- aku membayar.

Pukul 05.00 sore. Aku pulang dengan ongkos yang lebih murah ke kota Malang. Hebatnya, bus rusak di tengah jalan dan alhasil, aku tiba pukul 02.00 dinihari. Dengan ojek Rp.20.000,- dari Arjosari pulang ke Sanggar, mendapati rumah hening dan Belanda menang atas Uruguay. Hebatt....

Senin, 05 Juli 2010

Candu itu...


Ini pagi..lg bersiap. Semua sudah, td malam spanyol menang. Hebat. Di sekitarku semesta bergerak, hari ini cerah. Ah, sedikit cemas aku meraba lutut kiriku. Masih nyeri. Hasil pendakian sebelumnya. Tak apa, aku bergumam. Kali ini pasti terlupa, di luar sana akan banyak hal mengisi nyeri itu hingga pasti terlupa.
Perlahan, melewati ladang apel yg berbuah kering dan masam, terlintas gambaran tempat yg akan dituju. Lukisan indah mulai tercipta, serasa tak berujung. Dan ini masih awal. Perjalanan dimulai, berderap langkah sol sepatu baru memenuhi pagi yg tak lagi hening. Barisan warna warni ransel dan kostum bergerak menghiasi hari. Senyumku melebar, ini aku.. mulai bertamu.

Seperti berkali sebelumnya, langkah pertama selalu terasa berat. Konsentrasi, aku berujar pada sendiriku. Ini lutut mulai beraksi, berapa lama? Sekelilingku mulai hidup dengan obrolan. Tiga jam pertama, barisan pepohonan dan semak belukar kiri kanan jalan. Watu Rejing. Jembatan kayu. Lalu, hamparan keindahan itu muncul depan mataku. Abadikan, pikirku. Meski toh tak kan seindah dia, Ranu Kumbolo hadir dalam jepretan2 amatirku. Ini dia, danau dalam khayalanku. Berbaring menantang hari, beralas rumput menguning pada padang luas, kami menikmati sekerat tempe dan nasi putih. Oh damainya hidup, dan masih tetap awal.

Ketika tenda berdiri, unggun mulai mengusir dingin, bintang - bintang muncul di langit malam. Ini masih Minggu, harinya Tuhan. Misa indah di tepi Ranu (thanks Mo... :)), ada hening mencipta. Hening yg anggun, sebab kali ini kami berdoa untuk mereka yg pernah menikmati tempat ini dan tak pernah kembali. Itu bintang-bintang di atas masih menunggui. Dalam candaan hangat, bulan keperakan muncul. Menghias malam yg terlanjur indah. Bulan di atas danau. Dulu sekali, ada Bulan sebesar lapangan bola muncul di atas bukit samping rumah oppungku. Bulan dalam sinar putih cemerlang, seolah menghisap kampung kecilku dalam kilauan warnanya. Dalam mata kanak2ku tak ada langit seindah malam itu. Kali ini, aku harus merubah pikiranku.

Pagi di danau, tanpa terburu kami menikmati sajian Sang Pencipta.Hangat mentari. Damai. Ada tawa hangat tanpa beban melintasi pendengaranku. Ya, tempat ini indah. Saatnya melangkah lagi. Tanjakan itu menjanjikan cinta yang urung datang. Lagi, egoku tak mudah percaya, aku menoleh. Danau dari atas sini lebih indah dari pesona tanjakan itu (masih sj seperti Thomas). Di kejauhan, padang berbunga ungu menyambut. Siluet sang tuan rumah pun telah tampak di kejauhan. Oro-Oro Ombo. Mengagumkan pada bawah langit biru. Menyusuri setapak rangkaian pucuk-pucuk ungu, Cemoro Kandang menghadang. Jajaran cemara bak barisan serdadu waktu, menenggelamkam kami dalam teduh siang. Ada stroberi hutan menghibur langkah-langkah yang kerap terhenti dihantam letih. Manis dan asam. Eh, ini bagai petualangan di negeri dongeng.

Dari pos Jambangan, sang penguasa menunjukkan dirinya. Sejenak tertegun. Agung. Wahai Khalik, seperti apa rupa bumi saat dia diciptakan? Sekali lg, jepretan2 amatiran berlaga membekukan dia dalam selembar photo. Pertanyaan pertama, itu keatas darimana pak To? Sang porter menggerakkan telunjuknya, kamu lihat garis putih memanjang vertikal diatas sana? Itu jalurnya. Kecut. Setengah melongo, kami berusaha bernego. Memutar pak, ndak bisa toh ya?? kan punggungan biasanya memutar toh?? Si Bapak tersenyum, itu jalur satu-satunya. Wah, gawat benar ini. Bakalan ada yang tak bisa lelap malam ini hahaha (sory mbon...). Kalimati sudah di depan mata.

Apa yang kau cari me? jauh2 datang ke kesunyian ini? Tak tahu aku. Tanyakan saja lagi. Tetap aku tak punya jawab. Sekali lagi, unggun menyala. Malam ini, doa2 di daraskan untuk kepergian kami yang meminta kembali. Bapa, biar kami coba bawa keindahan itu bagi yang lain. Ijinkan.
Dini hari, Arcopodo menguak pintu-pintunya buat kami. Terjal, dan semakin berat. Oksigen mulai menipis. Berkali jurang menganga di kiri kanan jalan. Teriakan peringatan saling bersambut. Kawan, semangat siapa ini yang kita bawa?

Batas akhir vegetasi. Uhh, itu lautan pasir menggunduk terjal ke atas. Mampukah? Saling menguatkan, nyala senter mulai beriringan. Pelan-pelan saja. Pasir diinjak, pasir luruh. Satu langkah maju, dan mundur menyertai langkah berikut. Tapi hei, lutut ini tak lg nyeri. Bulan cantik di atas, dan bintang fajar mengawal kami bak raja-raja dari timur. Engkau sudi kiranya akan kami dan niat ini.
Jauh, masih sangat jauh. Lalu, hantu-hantu dalam diriku mulai beraksi. Mengajakku berdansa dalam kantuk yang mulai menyerang. Gejala awal hipoksia. Ayo, lecutku. Jangan sampai kantukmu abadi. Angin dingin membantuku untuk ttp berjalan. Berhenti hanya menambah letih, dan dingin yang menyerang. Di depanku, sahabat mendaki perlahan. Di bawahku, semangat yang sama masih menyala dalam pendar senter pada pagi menjelang. Ah, mana boleh menyerah. Selangkah demi selangkah. Lagi, pasir diinjak, pasir luruh. Tak ada pegangan, alunan Padi yang tadi menghiasi setapak di arcopodo, berulang-ulang mengisi kepalaku (coba kau putar lg td wid, mungkin naik akan lebih mudah)
Bulan keperakan masih di atasku. Puncak belum lg tiba, masih jauh. Pendar fajar pagi mulai muncul. Menghipnotis langkah2 kami yg segera terhenti. Oh Bulan perak dan Fajar merah. Betapa mengagumkan menyaksikan pertunjukan akbar dari kemiringan ini. Mari, lanjutkan langkah2 kita. Terus merangkak mendekati puncak. Apa yang kau cari Me? tak tahu aku.

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka menengadah dan berkata, kesanalah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang (SY)


Untaian kata pada nisan diam di atas sana. Hai orang asing, semangatmukah yang kami bawa? Pada senyum melebar dibalut letih tak terkira, kami bersalaman. Mahameru... ini aku. Kami datang bertamu, sudilah menjamu dalam keagunganmu.
Gigiran kawah Jonggring Saloka berselimutkan asap tebal membumbung tinggi, Wedus Gembel. Putih. Dilatarbelakangi suara letusan berulang2. Menggetarkan. Semeru sudah meminta banyak. Dingin merajai tulang. Sang merah putih, dengan pinggirannya yang mulai robek dimakan waktu, berkibar gagah pada puncak Mahameru.

Aku datang dengan tangan hampa, berharap pada keheningan puncak ini, aku menemukan makna perjalananku. Teringat pertanyaan seorang Bapak pada perjumpaanku yang lalu. Apa yang kau cari saat datang ke keheningan seperti ini? Adakah ketenangan? yang menjadi impian setiap mereka yang diperbudak diri? Waktu itupun aku masih tidak tahu.
Di puncak ini, aku mendapati. Tak ada yang aku cari. Aku merasa kecil pada bawah langit maha luas, dan itu sudah cukup untuk membuatku bersyukur. Atas anugerah alam ini. Atas kaki ini. Terima kasih Bapa.

Abadikan. Abadikanlah lagi. Bawa untuk mereka yang belum sempat berkunjung.
Jalanan menurun, curam. Sekali lagi... batas nyali di uji dalam kelelahan tiada tara. Tapi, aku bangga. Banggaku ada pada sahabat-sahabat seperjalanan. Wajah-wajah letih bersinar dalam kebahagiaan. Kita sudah tiba teman. Bukan untuk menaklukkan, karena pada akhirnya Sang Mahameru tetap akan berdiri kokoh. Katakan kita berkunjung. Membawa pulang rasa bangga untuk diri dan sekitar.
Pada jalanan menurun, aku menoleh. Lagi. Wahai, Kau yang berdiri tak tertandingi. Masih aku rindu mencumbu. Nanti, satu kali lagi.