Selasa, 27 Desember 2011

Damai di Bumi

Seperti angin meniup kapas.. pada jalinan batang kokoh yang
tak gentar menyapa badai,
merajut empuk bantal dan tilam.
Seperti api dan daunan kering, membakar malam dingin dan
pekat gelap.
Hangat merajuk sehingga enggan diri beranjak.

Damailah hati…
Seperti kata dan fatwa pujangga, bersyair indah nan
merdu,
sejuk hingga ke sukma.
Seperti tangis bayi, dan bau bedaknya harum
membawa khayal pada indah surgawi
dan dewi-dewi menari anggun.

Damailah bumi…
Dalam temaram lilin dan hembus nafas perlahan..
Dibawah terang pohonan cemara dan rimbun gaba
Gabanya..
Bercerita kisah Dia yang indah..
Sang terang
Sang hidup
Sang damai.

Langkat, 27 dec 2011

Jumat, 11 November 2011

The end...

Sudah lewat beberapa hari, masih saja terbayang..
Kala malam menjelang, bahkan bentang kasur dan guling pun menularkan rasa sepi yang dalam. Dalam ruang sendiri, tanpa teman berbagi, tanpa musik menemani.

Segala yang berbau kematian membuatku sedih...
Semestinya tidak, aku dibesarkan dalam ajaran Katolik. Ada kehidupan setelah kematian, dan kematian hanyalah awal dari perjumpaan yang tanpa akhir. Tapi, tetap saja rasanya menyedihkan.

Kemana jiwa-jiwa pergi saat keluar dari raga? Dimana mereka bertualang? Apa yang mereka tinggalkan dalam hangatnya dunia?
Ahhh....

Dan melihat kehidupan berangsur pergi didepanku, berteman detik-detik yang sungguh menakutkan, dalam teriakan-teriakan sedih dan marah para sahabat di sekeliling, dan rasa bersalah yang tak berhenti menyapa... betapa menyedihkan.

Bagaimana mampu memandang orang-orang yang dicintainya ketika kami adalah orang-orang terakhir yang merasakan rasa hangat tubuhnya berangsur dingin, membeku dalam ketiadaan. Bagaimana mampu mendengar tangisan dan tarikan nafas putus asa mereka?
Seandainya saja...

Ah tubuh yang fana, jiwa yang abadi. Selamat jalan...

(kenangan untuk seorang teman dalam karya, Awal November 2011)

Jumat, 28 Oktober 2011

Dua delapan..

Sempurna... mestinya.
sepuluh,
bukan?

Menyatu katanya..

Taklimat saat itu
aku cinta negeri ini,
dengan segala kebusukannya.

dua
dan
delapan
sempurna...

Sepuluh?

duadelapanoktoberduaribusebelas, 18.04wib

Selasa, 25 Oktober 2011

Rinduku rindu..

rinduku padamu,
tuan dalam malam dan
rembulan enggan..

bisu yang riang lalu
memuncak kala fajar menjelang.

rinduku kamu,
semilir merajuk tak hendak
lalu..

bisik mesra senada
kecewa.

ah..

rinduku rindu,
sunyi berkalang
sunyi menghilang

padamu,
kamu,
rindu.

Pontianak, 25 okt 2011

Kamis, 20 Oktober 2011

Borneo...

Lama sudah. Ingin menjejak kaki di tanah ini sedari dulu. Menanti saat mencium bau tanah dan harum udara saat pertama tiba. Ada sedikit keinginan, menyentuh dan mungkin menciumnya sekilas, tapi takut saja dikatai norak. Hahahaha. Pulau per pulau serasa keajaiban bagiku. Ada 'rasa' dan bau berbeda dari setiapnya. Dulu pernah kukatakan pada seorang teman, namun dia menganggapnya sambil lalu.
Tak apa. Aku yang merasa, inderaku membauinya.

Di satu ketika menginjak pulau jawa, Jogja. Mistis, harum terasa. Teman seperjalanan bilang tak ada. Ketika backpack dan hopping island, Flores menyambut dengan ramah, tanahnya berbau serasa menanti kue dipanggang, harum sekaligus panas. Lombok, sedikit mengecewakan, hanya sedikit rasa, ibarat mencobai jambu kampung, kelat. Namun pertemuan kedua, aku menyukainya. Harumnya hingga kinipun masih terasa. Nias di musim hujan, bau humus lembab. Seperti roti bantal yang tak tersentuh dua hari. Ketika hari beranjak terang, pun masih tak terbiasa. Mentawai, menyisakan haru. Saat mengingatnya, aku menginginkan segelas kopi susu. Simeulue, keliaran jiwa, harum pasir dan kepiting kelapa. Lembata saat senja, tanah berdebu dan harum pucuk - pucuk jambu mete. Sabang dengan rasa asin yang tak hilang - hilang. Terlalu banyak kurasa. di pulau Bangka, bau timah bercampur lembabnya udara malam. Tidak menyenangkan di malam hari, namun matahari menjanjikan keriangan dalam sepiring empek2. Sumbawa, yahh aku mesti mengakui, tak ada yang tertinggal dalam penciuman dan rasaku. Bali, sang pulau dewata, ibarat mengunyah keripik singkong. Renyah, bersemangat.

Dan Borneo. entahlah, kecuali panas yang tak henti, udara yang terasa lengket. dan tanahnya, hanya sedikit tercium kering. Ibarat mendapatkan sepotong roti bakar, atau ilalang yang hangus. Namun menyenangkan. Mungkin masih belum biasa.
Besok, ada waktuku membauinya.

Rabu, 05 Oktober 2011

Setiap hari..

Jalanan yang sama, bangunan-bangunan yang sama, kericuhan yang sama.
setiap hari. Deru yang sama, memekakkan telinga. klakson yang bikin pusing, dan geraman mesin-mesin yang seolah tak mau jauh tertinggal. Laskar kepagian.
Anehnya, aku menganggap semua teman. Menunggu merah menjadi hijau, beriringan seolah berpawai riang di tengah kepadatan, dan mataku mencari-cari plat-plat yang akrab sejak lampu merah pertama. Sahabat dalam kesunyian hati. Dalam keheningan pikiran. Selalu, disetiap pagiku yang ramai.

Sabtu, 24 September 2011

Rinjani, peraduan sang dewi...


Hari kapan itu, pesan pada dinding seorang teman, pernyataan kecewa atas komentar seorang sahabat. Ketika riuh rencana perjalanan dibagikan, suara sumbang menyambangi, mencintai alam kok mesti jauh, mesti buang2 uang. Sedikit menggelitik, sebab sang sahabat tidak tahu, mereka yg antusias bukanlah pemilik kantung tebal. Hanya semangat menyala, kerinduan akan keheningan semesta. Sedikit jauh ya benar, menguras tenaga tentu saja. Buang2 uang, entahlah. Demi dahaga hati ini, sepertinya tak apa, tak sebanding. Menjauh dari keramaian sementara.

Kebaikan hati mengiringi sepanjang perjalanan. Senyum manis, sapa ramah. Aula lantai dua di Immaculata adalah markas yg tak terlupa. Meski harus beranjak lebih pagi menjelang sekolah minggu sebab aula digunakan.

Pendakian kali ini terasa istimewa. Berapa kali kau boleh mendapat doa tak terduga dari seisi gereja mengiringi kakimu menapak sang dewi? Tentu kami satu dari sekian yg beruntung.

Dalam angkutan yang membawa ke Sembalun aku menerawang, pagi sebelumnya tak ada semangat dalam perjalanan kali ini. Letih minggu2 terakhir terasa melemahkan semangatku, sempat terpikir untuk membatalkan saja. Namun perjumpaan dengan para sahabat sungguh bagai candu, sekejap itu rasaku meledak-ledak ingin segera memulai petualangan ini. Tak ada keraguan.

Dan meski mentari garang menemani langkah-langkah awal, tak gentar kaki-kaki ini. Melambat seiring lelah menyapa, malah terasa bagai berkat. Kesempatan menikmati detik demi detik dalam keluasan semesta yang segera memanjakan mata. Padang rumput dalam warna kuning keemasan menakjubkan. Jalanan menurun dan menanjak tak habis-habisnya. Sekelilingku lengang, luas dan luas. Hanya rumput bergoyang, dan debu yang sedikit menyesakkan. Sebatang pohon di kejauhan menguarkan semangat yang segera berbuah kecewa saat tak dpt digunakan untuk berteduh. Dia menepi, tegak berdiri jauh dari jalanan. Pos satu dan berikutnya terlalui. Di kejauhan, puncak sang dewi, anggun menanti.

Ketika hari beranjak senja, dan jalanan setapak pada punggungan bukit-bukit kering mulai menghilang dalam kelam, kami memasang tenda-tenda di bawah bintang-bintang malam yang segera muncul. Indah. Lelah hari pertama membawa kami dalam tidur nyenyak segera. Dalam keheningan pagi, suara sang padre membangunkan para wedus untuk segera melangkah kembali. Hari kedua dimulai.

Dan perjalanan ini berubah berat. Nyeri melanda lutut kiriku, cemas terasa. Tak ingin menambah beban sang padre dan para sahabat, kucoba tetap melangkah semangat J meski sakit bukan kepalang. Melewati savanna yang terbakar, kehijauan yang menipis diantara pohon-pohon cemara gunung, pikiranku melayang ke senja di hari pertamaku tiba pulau ini. Dalam misa yang lengang, dalam khotbah yang sayup-sayup terdengar, aku baru menyadari sang Romo hanya memiliki sebelah tangan. Kehilangan lengan kiri dalam sebuah kecelakaan hampir memutus impiannya menjadi seorang Imam. Dia bercerita, tak ada yang menginginkan seorang Romo bertangan buntung. Adalah karunia Tuhan hingga akhirnya impiannya melayani sang Bapa terkabul. Salib yang harus dia pikul setiap harinya. Entah kenapa, bayangannya yang memecah roti serta membagi-bagikannya dengan satu tangan masih terasa mengharukan, atau mungkin juga rasa sakit di lutut ini yang menyebabkannya.

Melangkah tertatih dalam iringan para sahabat, kami tiba di keheningan Plawangan Sembalun. Memandang senja berubah merah di atas danau Segara Anak di bawah sana. Sungguh menakjubkan. Tenda dalam warna warni cerah tampak di kejauhan pada pinggang bukit, pemberhentian sebelum puncak. Hilir mudik dalam canda, sore menjelang. Secangkir kopi jahe, senyum manismu kawan, pelengkap keindahan sore ini. Mari bersiap, pagi nanti ketabahanmu diuji.

Dalam terang senter yang berpendar-pendar pada keheningan dinihari ketiga, kami beriringan menapaki jalur ke puncak. Dingin menusuk, debu menyesak, dan lelah berkejaran mematahkan semangat. Dahaga memuncak dalam udara yang semakin tipis, pusing melanda. Dan beberapa sahabat terpaksa berhenti berjuang, tak perlu disesali. Semangatmu sahabat, kami bawa sampai ke puncak. Indah, dan agung. Beginilah rasanya, dalam peraduan sang Dewi Anjani. Langit biru, kabut memutih di bawah, dan kehijauan danau di kejauhan sana sungguh sepadan dengan rasa letih ini. Dan perasaan itu muncul lagi. Betapa kecilnya aku, betapa kecilnya kita teman. Betapa besar Dia sang maha pencipta. Terimakasih Tuhan.

Dan jalanan turun ternyata punya cara sendiri untuk menguji semangatku yang tersisa :). Tanpamu, sahabat yang tak kenal lelah mengiringi langkah-langkah kecilku , entah bagaimana setapak ini terlalui.

Sore hari, menuju keindahan Segara Anak, keagungan yang terasa mistis. Perlahan kami tiba, dan tenda-tenda kembali berdiri. Meringkuk tidur dalam bayangan danau, lelah memuncak sedikit terbayar. Pagi menjelang, segala terlihat hebat. Anak gunung Baru berdiri gagah, menantang pendahulunya. Air danau yang tenang berkilau dalam cahaya fajar, perbukitan yang bagaikan lukisan membuai khayalanku akan negeri asing. Wahai, adakah waktu dapat berhenti?

Keindahan ini serasa tak berakhir ketika siang harinya melalui tanjakan ke Plawangan Senaru, kembali sang Dewi memamerkan pesonanya sepanjang perjalanan. Bersama para sahabat, kembali menikmati senja menjelang, lebih indah, lebih megah, diantara hamparan perbukitan kuning kelabu dari pinggang Senaru. Lagi, secangkir kopi jahe diiring makan siang yang kesorean, bekal menuju perjalanan panjang menuju pos 2 dimana kami akan bermalam. Sedikit bersedih mencium aroma pohon dan semak terbakar, masih terasa panas abunya. Sudah dinihari saat kami tiba, segera berpeluk gelap yang dingin, tanpa mimpi. Namun senyum puas tentu menghias tidur singkat ini.

Segera, pagi ini perjalanan kami berakhir. Perjalanan berlanjut ke pos 1, dan Senaru membuka gerbang-gerbangnya bagi kami. Mempersilahkan kami kembali pulang. Bahagia tak terucap, haru terasa. Kami menyudahi kunjungan ini. Masih kurang. Masih ingin. Suatu saat nanti semoga kami boleh kembali.

Salam dan terimakasih para sahabat. Tanpamu, tidak indah perjalanan ini.
Rinjani, September 2011

Rabu, 06 April 2011

'Tis the season

It's April.. a week later.
I recalled the day, the moment I decided to leave it all behind, the comfort, the calmness, the cozy room of my mind. I said to myself, give it a try, just let the wind takes you wherever it blows. The promise of challenging self, I acquainted to the idea. I did it well. Now, it passed, I win!!

The season is here..

I'm getting the best part of wishing something, I dreamed and leave the rest to the blue sky. I thought the day will always bright, but who can say?
Undefeated, I shall fight the days. I am ready.

Sabtu, 26 Maret 2011

Piece of s**t...

Late at night...
Almost dawn actually, no coffee, no deserts. Just me and this poor typing machine. An hour ago, frantically happy to hear a word or two from an old friend. Anyhow, it reminds me of being me these days. So poor, so sad that each day I spent is always in front of this square box. This is driving me mad. Can't think. Everything seems possible yet impossible. And the future lays vague for a bad egg. If by any chance I know I'll get to that point of my desire, I would ready to give up anything.

sigh**

Even the wind doesn't blow outside. And the world keeps moving on. Leaving me stands still. Pathetic..

I lost my spirit.