Senin, 31 Desember 2012

Tutup tahun...

Tadi itu, sepulang misa senja. Menjelang tutup tahun, dan hujan gerimis tak henti-henti..
Aneh merayakan malam pergantian tahun tanpa orang-orang terdekat. Tanpa jerit terompet dan teriakan selamat tahun baru...
Dulu sekali, malam-malam seperti ini adalah malam yang paling kutunggu...
Berbaris dengan teman kecilku, tanpa alas kaki, berkumpul di halaman rumah bambu itu. Menyaksikan latihan terakhir tor-tor muda-mudi. Tante bungsu dan tulangku masuk dalam barisan penari.. diiring gendang kulit kerbau dan seruling bambu.. meriak nada-nada yang mengiring ser-ser kaki-kaki telanjang yang lembut.
Pada malam terakhir di tahun itu.. dan setiap tahun setelahnya, rombongan musik kampung mengunjungi dusun-dusun. Memamerkan kaki-kaki telanjang, pemudi dan pemuda dibalut ulos, megah dalam kesederhanaan..
Dan kami, anak masih dengan ingus meleleh, ikut tanpa lelah.. rombongan yang mulai berjalan setelah dentang lonceng gereja memecah keheningan malam pergantian tahun. Setelah doa-doa syukur dipanjatkan dalam balutan lilin-lilin saja.. Oh ya, dulu itu listrik belum masuk masuk kampung ompungku.. eh, sudahkah kuberitahu, jika dulu juga setiap malam seperti malam ini, seluruh keluarga berkumpul di kampung ompungku yang di pelosok itu? dulu di ujung kampung adalah hutan lebat saja, dan jalan menujunya di kiri kanan pohonan durian, langsat dan cempedak, berlubang dan berlumpur karena hujan di penghujung tahun.
Malam ini, disini jalanan ditutup dari Sudirman sana. Katanya ada banyak panggung didirikan, pertunjukan musik akhir tahun. Orang - orang tumpah ruah di jalanan, tak peduli gerimis tadi.
Tidak sama, pikirku.
Para panortor yang kami buntuti dulu itu, memberi kegembiraan bagi kampung yang terang hanya oleh petromaks. Keriangannya di bumbu sinar bulan, sorak sorai yang syahdu. Sederhana saja. Mereka bergerak dari dusun terjauh menuju hilir, orang-orang bergembira dan menari riang. Menyelipkan selembar ribuan lusuh, yang nanti dijadikan bekal memperbaiki gendang kulit kerbau dan mengoles seruling bambu. Biar dapat berbunyi lagi di tahun berikut. Meski setelah tahun berlalu, mereka pun hilang tergerus waktu.
Aku yang mencintai nada-nada, tidak tertarik pada hingar bingar di bundaran sana itu. Kemegahannya kalah pada kenangan ini. Ah, tapi mungkin saja aku sedang rindu.

This is my december, this is my time of the year
This is my december, this is all so clear

(31december2012)







Jumat, 30 November 2012

Pulang
----------------

Kalau sudah lelah...

Kalau hilang arah...

Kalau marah merajai...

Kalau luka tak mau pergi...

Kalau hati jenuh mencari...

Pulang !!!




Rabu, 31 Oktober 2012

Omong kosong...



Aku jatuh cinta..
Aneh juga. Sudah kukenal sejak semula, tapi siapa bisa mencegah dia datang dalam keriuhan hari.
Dentuman kata dan alunan nada. Gerak anggun bahkan dalam keliaran kaki. Hanya suara dan itu sudah semua yang terindah.

Kukatakan, aku jatuh cinta..
pada dia si tampan di dunia sana. Hahh.. berapa yang akan tertawa kala kubagikan cerita ini. Mestinya dulu kujawab ya, atau menari bersama saat genderang memenuhi ruang dan gendang telinga. Tapi hey, saat itu kemudaan hanya satu dari sekian alasan untuk menjadi sunyi. 

Aku jatuh cinta dan kau mengenal dia..
Biar saja sepi menggunung di sekitar kita. Dalam diam ini, nada-nada menghentak-hentak liar, dan ruang-ruang disana bergemuruh dengan kata-kata yang engkau dan aku saja yang bisa. Lalu tak apa jika semesta lagi-lagi tertawa.

Dan aku jatuh cinta.
Padamu yang kukenal ketika hidup masih lagi biru. Merah putih dalam keriangan dan langkah-langkah kecil. Padamu yang kusapa dulu hanya dengan barisan kata tak tentu makna. 

Hahaha... mereka bilang aku gila. Tentu saja. Tak perlu dibela.

"... and love is not a victory march,
it's a cold and it's a broken hallelujah..."


(ketika hantu-hantu diam sementara, Okt 2012)                                        

Senin, 01 Oktober 2012

In remembrance of you...



Sekali lagi, tapak kakiku mengalahkan semua keragu-raguan...
Ransel di punggung, sepatu tua menipis, dan semangat yang pudar setiap kali ingat kali ini kawan berdendang tak turut menemani. Para sahabat wedusku jauh... Jika saja janji si penggembala tak ikut mengiring, tentu tak ada pendakian kali ini.

Ladang kentang dan pohonan rapat, lembab penuh serangga buas. Jalanan yang lagi menanjak tanpa ampun menuju danau itu, berkabut dalam lindungan tujuh pengawal. Sepotong perahu bocor tergeletak di samping batuan besar tempatku melepas lelah. Hari pertama dimulai...

Sepanjang turunan curam, lutut kiri mengingatkanku setahun lalu. Ucapan bernada riang bersahabat, menuntun kala kembali dari Segara Anak menuju pintu Senaru.

" Kaki kanan dulu itok.. kanan dulu, ingat kanan dulu baru kiri,"  berulang-ulang tak kenal lelah. Biar dalam balutan gelap saat cahaya senter mulai melemah.

Tersentak, dan pandangkupun ke pepohonan rimba. Ah, dimana langit? 

Jalanan baru, menanjak lebih tinggi. Ke puncak itu... 
Hari ini kami bergurau. Tertawa mengingat dia yang selalu tertawa riang. Tak habis mengenang setiap detil kecil, menemani langkah-langkah melambat menjelang ketinggian. Hanya dia yang mampu mendapat secangkir teh panas pada segerombolan porter riang di plawangan itu. Dia juga yang terundang menikmati kue lebaran dan oleh-oleh sebutir nenas. Siapa yang tak ingat keriangannya bernyanyi menghibur lelah," dont worry, coz everything's gonna be alright".  Kami tertawa. Aku tertawa, dan setitik air di sudut mata mulai terasa.

Semakin tinggi, dan udara menipis menyakitkan kepala.
Dari beranda tenda, lampu-lampu Kersik Tuo indah di kejauhan, membentuk segaris rapi berkerlap kerlip. Langit di atas penuh bintang sehabis gerimis sore tadi. Lantunan indah penyanyi Jepang diputar berulang-ulang terdengar dari penghuni tenda sebelah.
Di salah satu bintang itu dia mungkin berada...

Dingin  menusuk mengiringi semangat baru. Hari ini harusnya indah...
Batuan rapuh, pijakan pasir. Lelah hari kemarin masih terasa. Dan seperti yang lalu, suaranya mengiang di kepalaku, " Kanan dulu, ingat kanan dulu itok..".Hehehe, senyumku mengembang. Aku saja selalu lupa lutut kiri yang tak karuan ini. Mana kukira, teguran lembut itu masih memanduku biar setahun sudah berlalu. Ya, kaki kanan dulu. Dan aku tiba disana.

Puncak Kerinci, dengan segala kemegahannya. Ah, hari ini mestinya indahh...

Lima belas hari sudah berlalu. Dini hari dimana kabar kepergianmu membuat pagi sekawanan wedus menjadi biru. 

Aku masih tertawa, kami masih tertawa. Di puncak ini. Mengingat engkau yang riang, merebut hati banyak orang. Aku tertawa meski haru menyergap. Sebab pendakian lalu membuatmu menjadi sahabat. Tidak butuh dua pertemuan menjadikanmu hebat. Jiwamu hebat, kerianganmu indah. Kami tertawa sebab engkau penyuka tawa. 

Fajar baru, langit biru dan kawah itu. Aku memandang selimut awan...
Hey kawan, titip salam untukmu diatas sana. Jika malaikat memang ada, minta pada Tuhan agar menjadikanmu mata dan telinga dalam perjalanan-perjalanan kami. Menjadi bintang penyejuk dalam pagi-pagi indah berikut, menyusur puncak - puncak lain. Menjadi malaikat kami.
Selamat jalan...

" We remember you as a brother and a friend. We cry for you because we speak the same language; a language of brotherhood, an anthem of love for this land of God. So long Don..." 

(Kerinci, Sept 2012)

Senin, 13 Agustus 2012

Nunc aut numquam...

Segudang ingin kalau sudah menjelang libur memanjang. Ke gunung, ke pantai, berkemah, berpesta. Aku belum juga memilih. Kurasa hasrat jalan-jalanku sekarang tak lagi bebas. Tak seperti sebelum-sebelumnya. Kakiku siap, ranselku siap. Tapi tidak saat ini.

gbr 1. karang merah yang sudah mati

Jadi kupikir, kenapa tidak kupajang saja photo-photo ini. Biar mengingatkan aku akan indahnya tempat-tempat yang pernah singgah dimataku.

gbr 2. Tablolong di terik mentari

Siapa tahu, semangatku muncul. Dan kakiku mau beranjak lagi, lebih bebas.

gbr 3. kemiringan Egon

Toh, ini cuma karena satu hal. Nusa Nipa. Yang tak kunjung usai. Yang tak kan terjelajahi di satu petualangan. Yang selalu meminta lebih dan lebih untuk didatangi. 

gbr 4. dari batu berteduh, 300m sebelum puncak

Dan kaki yang diam adalah kelemahan pikiran, kekosongan yang kosong. Maka esok aku masih ingin berjalan, semoga.
(Aug 13th, Sikka)

Jumat, 08 Juni 2012

Bucket list...

Sounds familiar? indeed. That's the movie, of two kindest gentlemen in their own way. Looking for final rescue in each other. It tells life seeing from two different sides, the world of hurry busy hectic day and gloomy seemed comfort life. One has everything but family to laugh with, the other is blessed with a big happy one but still not enough. The two sicks and is dying, argues and hates, till a moment of enlightenment through a piece of paper lies on the hospital floor; list of wishes. A door to happiness, they say. Wishes they never had or give time to do. It works someway, the two travels, flies, laughs, cries together. Get intimate, friends 'til death appeared.
Beautiful movie.
Inspiring me, that one night I made a scratch numbering some wishes. Some look ambitious, others just things that keep staying on my mind. As I lay my head, a glance to pay at the paper I glued to the wall. Who knows, one day thirty years from now God bless, I look upon it and has no regret. Or maybe it slipped and forgotten, I live my life and wake up, wandering I've done some and still no regrets. Life itself is enigma anyway.

(it is June the beginning, drops fall outside)

Jumat, 25 Mei 2012

Orang - orang hebat...



Berjalan tertatih dengan nafas yang lebih sering tersengal, dan kadang mesti dipandu teman, begitulah Babah Akong yang kukenal. Tubuh renta, menua seiring usianya yg menginjak delapan dua tak menyiratkan sesuatu yang menarik. Diantara kerumunan peserta kegiatan, beliau tampak paling biasa, terbaur sama seperti lainnya. Namun dalam tubuh renta tersebut terkandung semangat membara, dan kegilaan yang sungguh hebat. Pemenang Eagle awards, dan tampil dua kali dalam program Kick Andy. Penerima piala Kalpataru, yg begitu bangga ketika presiden negeri ini berbisik di telinganya saat memberi hadiah untuk terus semangat dan melestarikan mangrove. Siapa sangka. Dua kali bertemu, dan aku masih saja terpesona oleh sosoknya.

Bincang - bincang di tepian Lasiana, mengingatkanku akan pertemuan pertama. Tahun lalu, ketika menyusuri kelimpahan mangrove di belakang rumahnya yang sangat sederhana berdua bersama sang istri, aku merasa malu karena tau belum berbuat apa-apa.

Kemarin masih saja Babah bercerita,' Saya ini buangan di keluarga. Di masyarakat juga. Ketika setiap kali saya menanam satu pohon di tepian pantai gersang saat matahari meninggi, orang katakan saya gila. Stress berat akibat tsunami melanda tahun '92, saat tambak iner dan harta kekayaan kami tersapu ke laut lepas. Tapi biar saja. Saya cuma pikir satu, kalau tsunami datang lagi, rumah dan keluargaku aman.'

Si Babah bilang, sampai saat ini , dia dan kelompok binaan sudah menanam lebih dari 1 juta mangrove. Dengan tangan sendiri. Dia bukan tipe yang akan pulang sebelum bibit habis tertanam. Di Kalimantan, bersama 5200an anak sekolah beliau menanam 50.000 batang bakau dalam satu hari, tidak boleh pulang sebelum habis katanya. Dia tidak mengenal konsep penanaman secara simbolis.

Dari hati.
Itu yang aku lihat. Tubuh renta dengan semangat membara. Banyak menawarkan harta padanya, rumah mewah dan areal perkebunan luas untuk dikelola di Medan, rumah dan petak kebun di Bandung. Saya tidak mau katanya. Saya sudah tua, tidak kuat lagi. sembilan kali masuk rumah sakit akibat penyakit jantung yang dideritanya memang tidak memungkinkan hal itu. Dan banyak juga yang memanfaatkan namanya untuk mendapatkan dana yang tak pernah dia sentuh. Banyak mahasiswa yang berguru, meminjam buku-buku berharga mengenai mangrove yang dia tulis secara sederhana, dan photo dokumentasi jenis-jenis mangrove yang susah payah dia buat, namun tidak pernah kembali.
'Mahasiswa-mahasiswa itu datang dari  Bogor, dari Jawa, dari Ende, darimana-mana, pinjam buku dan photo tidak kembalikan. Saya kan sudah tua, tidak kuat lagi. Tidak mampu buat buku dan dokumentasi lagi. Saya juga mau minta video rekaman yg di Kick Andy, untuk saya simpan' katanya.

Aku tanya, Bah, sepulang hari ini masih mau apa? Katanya, saya mau tanam bakau lagi di Maumere, masih panjang pesisir yang belum dihijaukan. Saya juga mau ke Medan, mau ajak mereka di Danau Toba tanam pohon. Masih banyak tempat lain juga.

Hebat...
Aku semakin merasa malu, kukatakan demikian padanya. Dan katanya, tak usah malu. tidak apa-apa. Yang penting mulailah sekarang. Saya pernah  di undang dalam sebuah pertemuan di Lembata. Saya katakan, Babah Akong dapat penghargaan dimana-mana, dan setiap kali tidak ada orang muda yang mendapat kehormatan yang sama. Saya bilang sama Bupati harus bentuk kelompok, biar anak-anak muda didalamnya, supaya mereka bekerja, membangun dan berprestasi. Dan Bapak Bupati minta semua itu camat tinggal dan diskusi bersama. Bupati bilang, 'semua undangan boleh pulang, tapi saya dan para camat harus tinggal. Saya malu dengan ucapan Babah hari ini. kita harus diskusikan bersama' hahahaha, dan si babah tertawa, dengan deretan gigi yang mulai menghilang.

Ketika semakin senja, Babah bilang' ayo, kapan mampir lagi kerumahku? singgah dan kita bisa bercerita lagi. Semilir angin di bawah pepohonan, air yang sejuk dingin dan jernih. Senja di belakang rumahku jauh lebih indah daripada ini.' Aku katakan, pasti Bah, aku pasti singgah. Dalam hati aku tau dia khawatir tidak sempat lagi membagikan ilmunya kepada orang lain.
Dua kali sore itu dia berkata, seandainya usiaku baru empatpuluhan.... dan sedikit haru mengurangi rasa malu yg menyergapku.


Jumat, 18 Mei 2012

Belum ada judul...

Panas menyengat..
Sikka di bulan Mei, masih panas meski kemarin malam langit membasahi bumi. Hari ini hari raya kenaikan Yesus, sang Almasih. Meski mayoritas, aku tidak terlalu melihat kerumunan manusia sepulang ibadah. Yah, memang tidak sepopuler perayaan kematianNya, paskah.
Hey, aneh juga... Baru terpikirkan olehku, Tubuh yang bangkit kembali itu tidak disambut semeriah ketika Dia berkorban nyawa. Apakah bukti manusia terbiasa memberi perhatian besar saat membutuhkan pertolongan saja, yg dalam hal ini keselamatan? Ah, aku sedang beromong kosong.

Masih di perjalanan.. Motor tanpa spion, tanpa klakson, dengan kabel starter yang diselotip saja. Menuju Magepanda, desa indah di utara Maumere. Berpanorama laut biru dan perbukitan terukir indah. Bertemu om Piet. Si Ketua kelompok Tani, merangkap Ketua BPD. Kami mengundang diri, bersantai di halaman rumahnya yang rindang, disuguh air kelapa muda. Berbincang tentang pemberdayaan, heterogenitas desanya dan betapa sulit memulai sesuatu seperti pendampingan masyarakat tanpa menunjukkan bukti terlebih dahulu.

Om Piet berfilosofi, ada 3 jenis manusia di desanya. Mereka yang Merpati, yang Pedati dan yang Sejati. Wah wahh, dalam hati aku bergumam, hebat jg si Om. Dengan penampilan kaos oblong dan celana pendek, dia melanjutkan. 'Merpati itu tipe yang disebar makanan datang berkerumun, dan ketika habis langsung kabur, Pedati itu harus didorong, kemana-mana kami perangkat desa atau pengurus kelompok harus mati-matian tarik ulur. Kalau tidak tak mau jalan. Dan terakhir Sejati, yang tanpa pamrih, tanpa imbalan'. Whoaa.. Tadinya datang dengan banyak rencana, mencoba pintar dan sok tau. Nyatanya malah mendapatkan ilmu baru. Gaya bahasa dan cara pikir si om petani ini sudah sangat maju, malah beberapa kata-katanya mesti kucerna dua tiga kali. Siapa bilang masyarakat timur jauh tertinggal?

Kembali ke kota Maumere, ibukota Sikka, perbincangan tadi masih terngiang di telingaku. Saat-saat seperti inilah momen terbaik dalam pekerjaanku. Bertemu kearifan dalam perbincangan dari mereka yang memahami diri dan sekitarnya. Alih-alih memberi, aku justru seringkali mendapat ilmu baru.
Matahari senja masih saja panas, lengket. Dari puncak jalan menanjak, Magepanda tampak elok. Sawah menguning yang sedang dipanen, anak-anak kecil bermain bola dengan latar perbukitan artistik, dan laut biru membentang seluas langit. Tadi kami mampir sebentar ke pantai itu, ke tepian tebing dimana Wairnokrua, mata air sang pastor. Dipercaya menyembuhkan penyakit. Indahh...

Segelintir Flores di satu sore. Apa jadinya jika aku menghabiskan satu purnama di pulau ini?

Jumat, 06 April 2012

Welirang,


Terburu langkahku. Terlalu ingin jauh dari sesak ini.
Dan malam penuh bintang, di samping nisan dingin dan gubuk ilalang, lampu-lampu kota dibawah menari indah. Mendung menjelang dan kabut tipis turun, teman setia hingga perjumpaan berakhir.
Selebrasi diri, dari puncak ke puncak. Semoga ego ini tidak terlalu.
Terimakasih Tuhan.
Dec 2011.

Selasa, 14 Februari 2012

Empatbelas..

Dua butir cokelat dan secangkir kopi.
Tak banyak memang, tp cukuplah malam ini. Apa pula guna berkeluhkesah jika hidup lebih dari segala.
Dua tanggal dan satu nama, dulu sekali. Pfiuhh, lama sudah. Terkadang indah itu hanya sepenggalah di depan mata. Tapi ego diri sering tak seirama, hahhh...
Mampuslah kau... *sigh