Jumat, 25 Mei 2012

Orang - orang hebat...



Berjalan tertatih dengan nafas yang lebih sering tersengal, dan kadang mesti dipandu teman, begitulah Babah Akong yang kukenal. Tubuh renta, menua seiring usianya yg menginjak delapan dua tak menyiratkan sesuatu yang menarik. Diantara kerumunan peserta kegiatan, beliau tampak paling biasa, terbaur sama seperti lainnya. Namun dalam tubuh renta tersebut terkandung semangat membara, dan kegilaan yang sungguh hebat. Pemenang Eagle awards, dan tampil dua kali dalam program Kick Andy. Penerima piala Kalpataru, yg begitu bangga ketika presiden negeri ini berbisik di telinganya saat memberi hadiah untuk terus semangat dan melestarikan mangrove. Siapa sangka. Dua kali bertemu, dan aku masih saja terpesona oleh sosoknya.

Bincang - bincang di tepian Lasiana, mengingatkanku akan pertemuan pertama. Tahun lalu, ketika menyusuri kelimpahan mangrove di belakang rumahnya yang sangat sederhana berdua bersama sang istri, aku merasa malu karena tau belum berbuat apa-apa.

Kemarin masih saja Babah bercerita,' Saya ini buangan di keluarga. Di masyarakat juga. Ketika setiap kali saya menanam satu pohon di tepian pantai gersang saat matahari meninggi, orang katakan saya gila. Stress berat akibat tsunami melanda tahun '92, saat tambak iner dan harta kekayaan kami tersapu ke laut lepas. Tapi biar saja. Saya cuma pikir satu, kalau tsunami datang lagi, rumah dan keluargaku aman.'

Si Babah bilang, sampai saat ini , dia dan kelompok binaan sudah menanam lebih dari 1 juta mangrove. Dengan tangan sendiri. Dia bukan tipe yang akan pulang sebelum bibit habis tertanam. Di Kalimantan, bersama 5200an anak sekolah beliau menanam 50.000 batang bakau dalam satu hari, tidak boleh pulang sebelum habis katanya. Dia tidak mengenal konsep penanaman secara simbolis.

Dari hati.
Itu yang aku lihat. Tubuh renta dengan semangat membara. Banyak menawarkan harta padanya, rumah mewah dan areal perkebunan luas untuk dikelola di Medan, rumah dan petak kebun di Bandung. Saya tidak mau katanya. Saya sudah tua, tidak kuat lagi. sembilan kali masuk rumah sakit akibat penyakit jantung yang dideritanya memang tidak memungkinkan hal itu. Dan banyak juga yang memanfaatkan namanya untuk mendapatkan dana yang tak pernah dia sentuh. Banyak mahasiswa yang berguru, meminjam buku-buku berharga mengenai mangrove yang dia tulis secara sederhana, dan photo dokumentasi jenis-jenis mangrove yang susah payah dia buat, namun tidak pernah kembali.
'Mahasiswa-mahasiswa itu datang dari  Bogor, dari Jawa, dari Ende, darimana-mana, pinjam buku dan photo tidak kembalikan. Saya kan sudah tua, tidak kuat lagi. Tidak mampu buat buku dan dokumentasi lagi. Saya juga mau minta video rekaman yg di Kick Andy, untuk saya simpan' katanya.

Aku tanya, Bah, sepulang hari ini masih mau apa? Katanya, saya mau tanam bakau lagi di Maumere, masih panjang pesisir yang belum dihijaukan. Saya juga mau ke Medan, mau ajak mereka di Danau Toba tanam pohon. Masih banyak tempat lain juga.

Hebat...
Aku semakin merasa malu, kukatakan demikian padanya. Dan katanya, tak usah malu. tidak apa-apa. Yang penting mulailah sekarang. Saya pernah  di undang dalam sebuah pertemuan di Lembata. Saya katakan, Babah Akong dapat penghargaan dimana-mana, dan setiap kali tidak ada orang muda yang mendapat kehormatan yang sama. Saya bilang sama Bupati harus bentuk kelompok, biar anak-anak muda didalamnya, supaya mereka bekerja, membangun dan berprestasi. Dan Bapak Bupati minta semua itu camat tinggal dan diskusi bersama. Bupati bilang, 'semua undangan boleh pulang, tapi saya dan para camat harus tinggal. Saya malu dengan ucapan Babah hari ini. kita harus diskusikan bersama' hahahaha, dan si babah tertawa, dengan deretan gigi yang mulai menghilang.

Ketika semakin senja, Babah bilang' ayo, kapan mampir lagi kerumahku? singgah dan kita bisa bercerita lagi. Semilir angin di bawah pepohonan, air yang sejuk dingin dan jernih. Senja di belakang rumahku jauh lebih indah daripada ini.' Aku katakan, pasti Bah, aku pasti singgah. Dalam hati aku tau dia khawatir tidak sempat lagi membagikan ilmunya kepada orang lain.
Dua kali sore itu dia berkata, seandainya usiaku baru empatpuluhan.... dan sedikit haru mengurangi rasa malu yg menyergapku.


Jumat, 18 Mei 2012

Belum ada judul...

Panas menyengat..
Sikka di bulan Mei, masih panas meski kemarin malam langit membasahi bumi. Hari ini hari raya kenaikan Yesus, sang Almasih. Meski mayoritas, aku tidak terlalu melihat kerumunan manusia sepulang ibadah. Yah, memang tidak sepopuler perayaan kematianNya, paskah.
Hey, aneh juga... Baru terpikirkan olehku, Tubuh yang bangkit kembali itu tidak disambut semeriah ketika Dia berkorban nyawa. Apakah bukti manusia terbiasa memberi perhatian besar saat membutuhkan pertolongan saja, yg dalam hal ini keselamatan? Ah, aku sedang beromong kosong.

Masih di perjalanan.. Motor tanpa spion, tanpa klakson, dengan kabel starter yang diselotip saja. Menuju Magepanda, desa indah di utara Maumere. Berpanorama laut biru dan perbukitan terukir indah. Bertemu om Piet. Si Ketua kelompok Tani, merangkap Ketua BPD. Kami mengundang diri, bersantai di halaman rumahnya yang rindang, disuguh air kelapa muda. Berbincang tentang pemberdayaan, heterogenitas desanya dan betapa sulit memulai sesuatu seperti pendampingan masyarakat tanpa menunjukkan bukti terlebih dahulu.

Om Piet berfilosofi, ada 3 jenis manusia di desanya. Mereka yang Merpati, yang Pedati dan yang Sejati. Wah wahh, dalam hati aku bergumam, hebat jg si Om. Dengan penampilan kaos oblong dan celana pendek, dia melanjutkan. 'Merpati itu tipe yang disebar makanan datang berkerumun, dan ketika habis langsung kabur, Pedati itu harus didorong, kemana-mana kami perangkat desa atau pengurus kelompok harus mati-matian tarik ulur. Kalau tidak tak mau jalan. Dan terakhir Sejati, yang tanpa pamrih, tanpa imbalan'. Whoaa.. Tadinya datang dengan banyak rencana, mencoba pintar dan sok tau. Nyatanya malah mendapatkan ilmu baru. Gaya bahasa dan cara pikir si om petani ini sudah sangat maju, malah beberapa kata-katanya mesti kucerna dua tiga kali. Siapa bilang masyarakat timur jauh tertinggal?

Kembali ke kota Maumere, ibukota Sikka, perbincangan tadi masih terngiang di telingaku. Saat-saat seperti inilah momen terbaik dalam pekerjaanku. Bertemu kearifan dalam perbincangan dari mereka yang memahami diri dan sekitarnya. Alih-alih memberi, aku justru seringkali mendapat ilmu baru.
Matahari senja masih saja panas, lengket. Dari puncak jalan menanjak, Magepanda tampak elok. Sawah menguning yang sedang dipanen, anak-anak kecil bermain bola dengan latar perbukitan artistik, dan laut biru membentang seluas langit. Tadi kami mampir sebentar ke pantai itu, ke tepian tebing dimana Wairnokrua, mata air sang pastor. Dipercaya menyembuhkan penyakit. Indahh...

Segelintir Flores di satu sore. Apa jadinya jika aku menghabiskan satu purnama di pulau ini?