Sekali lagi, tapak kakiku mengalahkan semua keragu-raguan...
Ransel di punggung, sepatu tua menipis, dan semangat yang pudar setiap kali ingat kali ini kawan berdendang tak turut menemani. Para sahabat wedusku jauh... Jika saja janji si penggembala tak ikut mengiring, tentu tak ada pendakian kali ini.
Ladang kentang dan pohonan rapat, lembab penuh serangga buas. Jalanan yang lagi menanjak tanpa ampun menuju danau itu, berkabut dalam lindungan tujuh pengawal. Sepotong perahu bocor tergeletak di samping batuan besar tempatku melepas lelah. Hari pertama dimulai...
Sepanjang turunan curam, lutut kiri mengingatkanku setahun lalu. Ucapan bernada riang bersahabat, menuntun kala kembali dari Segara Anak menuju pintu Senaru.
" Kaki kanan dulu itok.. kanan dulu, ingat kanan dulu baru kiri," berulang-ulang tak kenal lelah. Biar dalam balutan gelap saat cahaya senter mulai melemah.
Tersentak, dan pandangkupun ke pepohonan rimba. Ah, dimana langit?
Jalanan baru, menanjak lebih tinggi. Ke puncak itu...
Hari ini kami bergurau. Tertawa mengingat dia yang selalu tertawa riang. Tak habis mengenang setiap detil kecil, menemani langkah-langkah melambat menjelang ketinggian. Hanya dia yang mampu mendapat secangkir teh panas pada segerombolan porter riang di plawangan itu. Dia juga yang terundang menikmati kue lebaran dan oleh-oleh sebutir nenas. Siapa yang tak ingat keriangannya bernyanyi menghibur lelah," dont worry, coz everything's gonna be alright". Kami tertawa. Aku tertawa, dan setitik air di sudut mata mulai terasa.
Semakin tinggi, dan udara menipis menyakitkan kepala.
Dari beranda tenda, lampu-lampu Kersik Tuo indah di kejauhan, membentuk segaris rapi berkerlap kerlip. Langit di atas penuh bintang sehabis gerimis sore tadi. Lantunan indah penyanyi Jepang diputar berulang-ulang terdengar dari penghuni tenda sebelah.
Di salah satu bintang itu dia mungkin berada...
Dingin menusuk mengiringi semangat baru. Hari ini harusnya indah...
Batuan rapuh, pijakan pasir. Lelah hari kemarin masih terasa. Dan seperti yang lalu, suaranya mengiang di kepalaku, " Kanan dulu, ingat kanan dulu itok..".Hehehe, senyumku mengembang. Aku saja selalu lupa lutut kiri yang tak karuan ini. Mana kukira, teguran lembut itu masih memanduku biar setahun sudah berlalu. Ya, kaki kanan dulu. Dan aku tiba disana.
Puncak Kerinci, dengan segala kemegahannya. Ah, hari ini mestinya indahh...
Lima belas hari sudah berlalu. Dini hari dimana kabar kepergianmu membuat pagi sekawanan wedus menjadi biru.
Aku masih tertawa, kami masih tertawa. Di puncak ini. Mengingat engkau yang riang, merebut hati banyak orang. Aku tertawa meski haru menyergap. Sebab pendakian lalu membuatmu menjadi sahabat. Tidak butuh dua pertemuan menjadikanmu hebat. Jiwamu hebat, kerianganmu indah. Kami tertawa sebab engkau penyuka tawa.
Fajar baru, langit biru dan kawah itu. Aku memandang selimut awan...
Hey kawan, titip salam untukmu diatas sana. Jika malaikat memang ada, minta pada Tuhan agar menjadikanmu mata dan telinga dalam perjalanan-perjalanan kami. Menjadi bintang penyejuk dalam pagi-pagi indah berikut, menyusur puncak - puncak lain. Menjadi malaikat kami.
Selamat jalan...
" We remember you as a brother and a friend. We cry for you because we speak the same language; a language of brotherhood, an anthem of love for this land of God. So long Don..."
(Kerinci, Sept 2012)