Minggu, 25 April 2010

Nanti…

Aku mau menikmati segelas kopi
Di temaram senja
Bersama sepiring ubi goreng, dan selimut kaki

Nanti…
Aku mau menikmati senja
Bersama tetes embun terakhir
Sambil mengingat-ingat kamu

Nanti...
Aku mau menghabiskan malamku
Bersama alunan jangkrik
Dan suara-suara malam
Di peraduanku yang empuk

Nanti…

Hari ini,
Aku mau berpeluh
Menantang hari, mandi bersama terik mentari
Aku mau mengaduh
Bersama dingin malam, merasuk tulangku
Menapaki kamu yang membawaku ke puncak semangatku

Dimana waktu aku hentikan sejenak
Sebab indah ini tak cukup ruang dimataku
Sebab rasa ini tak bisa hanya milikku
Sebab alam ini akan menyesaki dadaku

Dalam syukur yang tak terkira
Dalam tangis yang jadi tawa
Dalam merdekaku
Dalam merdekamu…
(Langkat, april ’10)

Kamis, 22 April 2010

Ulee lheu

“Dulu udeueng-udeueng ini berkembang biak amat cepat,” pak tua itu membuka percakapan,” sampoe h’an jeuet takira” katanya sambil tersenyum simpul.
“Kalau musim panen tiba, dua ekor sudah cukup buat biaya makan sehari” tambahnya.
“Sekarang sudah tidak banyak lagi ya pak,” kataku sembari menjulurkan diri ke arah kolam dangkal itu,”pasti pada kabur ke laut ya..”
“Mungkin saja,” katanya, masih sibuk menggayungkan serokan plastik itu ke air yang keruh, menjaring bayi-bayi udang yang akan kami gunakan sebagai umpan dalam rencana memancing kami sore itu. “Yang tinggal sekarang tinggal beberapa ekor induk dan jentik-jentiknya.”
“Gak sayang, pak” tanyaku,” Kan, masih bisa diternakkan buat dijadikan induk-induk baru.”
Dia tersenyum,”Pakriban lon pajoh aneuk dara,” katanya, ”Sebelum kejadian itu, kolam ini sedang akan dipanen.”
“Benar pak?”, temanku ikut nimbrung,”panen besar ya, pak”
“Ya, yang terbesar malah” kata pak tua sambil memasukkan seekor anak udang lagi ke kantongan plastik berisi air yang kami bawa sebagai tempat udang-udang kecil itu bermain sebelum akhirnya dikorbankan ke laut lepas untuk dimakan ikan-ikan yang lebih besar.
Sambil mengamati mereka berenang-renang di dalam plastik kecil itu, aku berpikir betapa kami amat tega mengorbankan mereka demi kesenangan kami sendiri. Aku sedikit merasa bersalah, tapi kemudian berpikir itu kan hukum alam, yang kecil pasti jadi makanan yang besar, seperti orang-orang tak berpendidikan yang sering jadi sasaran penipuan tuan-tuan tanah, wah, aku jadi ngelantur mikirnya.
“Berapa banyak pak?” aku tersadar kembali oleh pertanyaan temanku.
“Lebih siribee ekor,” katanya” tapi galumbang raya membawa semua ke laut lepas”, sekarang dia menegakkan dirinya, matanya memandang kekejauhan, ke lautan Hindia yang terbentang luas di depan kami.
“Sekarang tidak ada yang tersisa, tidak juga rumah bapak,”katanya seraya menunjuk kearah gubuk kecil terbuat dari bambu dan tiang-tiang sisa bangunan yang di lemparkan ombak besar itu ke darat. Aku mengamati bangunan kecil yg penuh dgn tempelan karung bekas disana sini, mungkin berfungsi utk menghalau angin malam yg keras.
“Keluarga bapak bagaimana?”tanyaku sembari menghindari pelototan temanku yang tampak tak setuju dengan pertanyaanku.
“Semua habis,”katanya sambil tersenyum lelah, sekarang aku dapat melihat kesedihan yang teramat sangat diwajah tuanya yang keriput.”Istri dan anak perempuan bapak satu-satunya dibawa arus deras itu entah kemana”
“Tidak selamat?”kataku, yang lebih merupakan pernyataan daripada pertanyaan, masih dalam pelototan temanku.
“Gelombang itu terlalu kuat, hingga bangunan kokoh pun roboh dalam sekejap, hanya karena pertolongan Allah saja maka saya masih bisa bernafas disini.” katanya,”Kalian lihat tupi aceh di jambo sana itu?”tanyanya, sambil menunjuk kesatu arah dikejauhan. “Kesanalah bapak dihanyutkan galumbang ganas itu,”
Kami menekur memandang kekejauhan kearah yang ditunjukkan bapak itu, berpikir betapa jauhnya jarak itu dari tempat kami berdiri. Aku mencoba membayangkan keadaan saat itu, hatiku langsung merasa kecut.
“Meski seorang perenang handal, tidaklah menjadi jaminan dia akan selamat pada waktu itu. Hanya izin Tuhan semata yang dapat menolong saat itu. Saat ini Bapak berserah saja kepada-Nya, mungkin ada banyak hal yang belum bapak selesaikan di dunia ini, itu sebabnya Dia masih memberikan kesempatan kepada bapak sekali lagi untuk menyelesaikannya,” katanya dengan mata tuanya yang lelah.
“Bapak bisa menemukan mereka?” tanyaku lagi, kali ini temanku tidak memelototi aku, melainkan antusias mendengarkan cerita pak tua itu.
“Tidak, ada banyak orang yang tidak menemukan jasad anggota keluarga mereka. Bapak hanya berharap alam berbaik hati dan membawa mereka ke tempat yang layak sebagai tempat persinggahan terakhir mereka” jawabnya, sekarang wajah itu bertambah kelam. Gurat-gurat kesedihan tampak jelas diwajahnya.
“Maaf pak, saya tidak bermaksud membuat bapak sedih dengan mengingat-ingat kejadian itu.” Kataku dengan nada menyesal.
Dia tersenyum lembut,” tidak apa-apa, ” katanya bijak, “kalian mengingatkan bapak terhadap anak perempuan bapak. Dia anak yang baik dan baru saja menamatkan sekolahnya di akademi keperawatan, dan sudah mendapatkan tawaran bekerja di salah satu rumah sakit besar di kota banda ini.” katanya dengan senyum bangga,” tapi, Allah berkeuheundak lain…” Kali ini aku dapat merasakan nada sedih dalam suaranya.
Kami sudah sama sekali melupakan udang-udang kecil itu, larut dalam kesedihan yang ditawarkan alam kepada jiwa-jiwa kami.
“Wah, jadi keasyikan cerita ya,” kata si bapak dengan senyum kecil yang sedikit di paksakan, “Nih, udang-udang kalian, nanti keburu pingsan sebelum sempat di jadikan umpan. Ikan-ikan tidak suka umpan yang tak bernyawa,”katanya tersenyum.
“Iya deh, pak”kataku sambil meraih kantongan plastik itu,” lima ribee ya, pak”
“Bolehlah,” katanya,”lainkali, kalo butuh umpan lagi datang saja kemari ya.”
“Pasti, pak” jawab temanku, dia sudah mulai berjalan ke arah laut.
“Kalo ada diskonnya, boleh saja pak.” Kataku sambil tertawa kecil.
“Wah, kamu ini…”kata si bapak seraya mencubit pipiku, sejenak aku tertegun dan merasakan kemarahan yang tiba-tiba karena tindakan yang kuanggap kurang sopan itu. Lalu, aku melihat mata tuanya tersenyum lembut, dan tahulah aku, kerinduannya akan anak perempuannya yang mendorongnya berbuat itu. Seketika itu pula, rasa kesalku berubah menjadi rasa hormat dan kagum yang sangat kepada dia. Betapa dia amat kuat menghadapi kejadian yang amat menyedihkan itu, dan betapa dengan penuh ketetapan hati dia menjalani hidup yang akan dilakoninya sendirian sejak saat ini. Apakah kesepian akan membunuhnya? Aku berjalan menjauh dipenuhi pikiran itu. Aku menoleh kebelakang dan melambaikan tanganku,
” Teurimong geunaseh, pak” teriakku dari kejauhan. Sambil tersenyum dia melambaikan tangannya dan meneruskan mencari-cari anak-anak udang di kolam dangkal itu.
Betapa alam dapat demikian tidak bersahabat dengan kita. Aku memandang samudera luas dan berpikir betapa indahnya saat laut tenang seperti saat ini. Dan gema takbir dikejauhan mengingatkanku, adalah Tuhan yang punya kuasa atas segalanya, dan kita hanyalah domba-domba yang sepatutnya berserah diri senantiasa kepadaNya.
Aku tersenyum dan diam-diam mengucap doa dalam hati, terimakasih Tuhan buat bapak tua itu yang Kau bolehkan untuk menikmati sedikit kebahagiaan sore ini.

Banda Aceh, 26 september 2005
(Buat pak tua di tepi Ulee lheu, terimakasih telah memberikan harapan di hati kami)

Rabu, 07 April 2010

Mereka.. presidenku...


pangerannya pak yunus

dr tepi sikundur

anak2 dusun nelayan

anak2 lumban hariara, aek kanopan