Selasa, 09 Februari 2010

A brother in the distance???

It wasn't long ago when I was back in Banda Aceh, met a girl in a Sunday afternoon service and greeted her in my local language. Oval shaped face, big brown eyes, a bit dark skin and short straight hair, she looked at me calmly and amazed, probably with my thought of her as a local fellow. Since I was accustomed to greet new face at the end of a service, I chose this freshly face young lady who did not understand a word I said. She smiled at me, and softly said 'I am sorry, can't understand the language, I am a Filipinos'. Gosh, my face must be red, because she suddenly added, 'It's okay, people often think of me as an Indonesian...'

I dont think I would be different anyway, why I talked to her in the first catch with my local language was because I have no doubt she comes from a place around the hills of North Tapanuli or a huta by the side of my beautiful Lake Toba. It reminds me when I spotted a column on a newspaper (forgot already) about two weeks ago, where I read a story of a local tribe in Philippine still holds a tradition to unearth the corpse and rebury the bones in a new 'house', similar procession to what Bataknesse called 'Mangukkal Holi'.

A coincidence? could be, however this encourage me to make a little explorations on the history of Bataknesse. That would be good to know the history of our own ancestor, a way to pay respect to them.

Minggu, 07 Februari 2010

Akhir tahun di Argopuro...

Gunung Argopuro di Jawa Timur, berdiri gagah di dataran tinggi Yang seluas 14.177 Ha, dgn tinggi 3.088 mdpl. Sebenarnya kurang cocok menjelajah daerah ini di akhir tahun, sebab kawasan yang kaya akn cemara dan edelweis ini tidak dapat menyuguhkan keelokannya pd bulan desember. Tetapi harta karun peradaban zaman majapahit berupa bekas reruntuhan istana dewi rengganis yg terdapat di puncak selatan; bersebelahan dengan puncak argopuro, plus kesempatan bertemu sahabat-sahabat baru merupakan daya tarik tersendiri bagiku. Ini perjalanan pertama ke propinsi yg sarat akan hal2 mendebarkan ini :)

Cemara yg terbakar kemarau

Argopuro dapat ditempuh dari 2 jalur, Desa Baderan di Situbondo atau lewat Bremi di Probolinggo.Kedua jalur ini memiliki kesulitannya tersendiri, Bremi dengan jurang, hutan lumut, pepohonan yg rapat dan Baderan dengan tanjakan yg seolah tak ada ujungnya. Menjelajah ke kawasan ini juga berarti harus mempersiapkan fisik yg kuat, karena jalur yg cukup panjang dan melelahkan, tanaman dancuk'an yg siap menyengat saat kita lengah serta hujan bulan desember yg turun dan berhenti tanpa peringatan.

Tanaman dancuk'an

Memulai dari jalur Bremi, dengan medan bergelombang selama hampir 7 jam menuju puncak Yang, melewati hutan lumut, kami dihadapkan dengan kemistisan Danau Taman Hidup. Unik dengan kabut yang senantiasa menutupi permukaannya, namun indah dengan padang rumput yang mengitari. Danau ini adalah surga kehidupan bagi beragam jenis satwa, rusa, kijang, macan, yg dipercaya masih hidup di kawasan ini.


Danau taman hidup
Beranjak dari Danau Taman Hidup, perjalanan semakin memasuki kelebatan hutan cemara yang berselimutkan lumut hijau tebal. Sebelum mendapati Aek Keneng yg mengalir sepanjang tahun, ada tempat yg disebut Bukit Sisinyal, dimana ada satu spot; ditandai dengan sebuah paku yg ditancapkan di batang satu pohon cemara, disebut dapat menerima sinyal telepon. Aku mencoba dan tak dapat, karena harus memanjat sedikit untuk dapat mencapai spot yg dimaksud. Akhirnya, Aek Keneng dengan air yang manis menyejukkan tenggorokan. Hanya berupa aliran sungai mungil, namun tak pernah kering meski di musim kemarau. Berjalan sekitar 2 jam, kami tiba di savana luas tempat kami mendirikan kemah malam pertama.

Pos pendakian sisentor

Satu jam dari savana, kami tiba di sisentor (bukan ci, sebab ini lidah madura :) .. ), pos pertama pendakian, tempat yg nyaman dengan aliran sungai dan perlindungan pepohonan untuk mendirikan kemah malam kedua. Setelah melepaskan penat sembari sarapan, kami meninggalkan perkemahan untuk summit attack yang terlambat (tdk lg utk lihat sunrise dr puncak). Melewati rawa embik, lorong2 cemara dan edelweis yg belum berbunga, butuh waktu 4 jam untuk sampai ke kaki puncak, dan 30 menit untuk menaiki keduaya. Argopuro dengan bebatuan terjal dan Rengganis dengan belerang yang menusuk hidung. Indah, dengan bekas reruntuhan yang terlihat jelas, membentuk apa yg tdnya merupakan pelataran, mungkin taman istana. Ada makam disana, tempat warga sekitar memberikan sesembahannya, ketupat, ayam hidup dan bunga2. Menuruni rengganis ada sebuah nisan peringatan meninggalnya seorang pendaki dr sebuah perguruan tinggi di surabaya di tahun 90-an.

Rawa Embik
Menuju rengganis

Puncak Rengganis

Kembali ke sisentor, bermalam dan melepas lelah, kami berangkat pulang. Kali ini menuju Baderan, lagi mendaki dinding bukit dan melewati padang rumput yg indah dengan pucuk2 ungu merahnya di sanding batang2 kuning. Kami bersemangat dijanjikan kemolekan sikasur, savana luas yang disebut2 pernah menjadi lokasi pendaratan pesawat zaman penjajahan jepang. Dan disinilah, sikasur, dengan padang rumput luas, sungai mengalir tenang, dipenuhi selada air yang segar, lalapan makan siang, kami melepas lelah sejenak. Sejauh mata memandang adalah keindahan dalam warna hijau yang cantik berpadu langit biru luas. Terima kasih Tuhan..

Alun alun Sikasur dan sungai kecilnya

Perjalanan pulang, melewati mata air dua, banyak menurun meski masih ada satu dua tanjakan. Sebelum pos terakhir, masih ada pemandangan perkebunan penduduk dengan disebelah kiri jurang yang nun jauh di seberangnya hamparan hutan luas dengan air terjun bersilangan menambah keagungan senja. Lalu tiba di Bremi, membersihkan diri untuk kemudian beranjak pulang menuju surabaya, hebat.

Dan perjalananku belumlah berakhir..
(photo2 on behalf of friends...)