Sabtu, 24 September 2011

Rinjani, peraduan sang dewi...


Hari kapan itu, pesan pada dinding seorang teman, pernyataan kecewa atas komentar seorang sahabat. Ketika riuh rencana perjalanan dibagikan, suara sumbang menyambangi, mencintai alam kok mesti jauh, mesti buang2 uang. Sedikit menggelitik, sebab sang sahabat tidak tahu, mereka yg antusias bukanlah pemilik kantung tebal. Hanya semangat menyala, kerinduan akan keheningan semesta. Sedikit jauh ya benar, menguras tenaga tentu saja. Buang2 uang, entahlah. Demi dahaga hati ini, sepertinya tak apa, tak sebanding. Menjauh dari keramaian sementara.

Kebaikan hati mengiringi sepanjang perjalanan. Senyum manis, sapa ramah. Aula lantai dua di Immaculata adalah markas yg tak terlupa. Meski harus beranjak lebih pagi menjelang sekolah minggu sebab aula digunakan.

Pendakian kali ini terasa istimewa. Berapa kali kau boleh mendapat doa tak terduga dari seisi gereja mengiringi kakimu menapak sang dewi? Tentu kami satu dari sekian yg beruntung.

Dalam angkutan yang membawa ke Sembalun aku menerawang, pagi sebelumnya tak ada semangat dalam perjalanan kali ini. Letih minggu2 terakhir terasa melemahkan semangatku, sempat terpikir untuk membatalkan saja. Namun perjumpaan dengan para sahabat sungguh bagai candu, sekejap itu rasaku meledak-ledak ingin segera memulai petualangan ini. Tak ada keraguan.

Dan meski mentari garang menemani langkah-langkah awal, tak gentar kaki-kaki ini. Melambat seiring lelah menyapa, malah terasa bagai berkat. Kesempatan menikmati detik demi detik dalam keluasan semesta yang segera memanjakan mata. Padang rumput dalam warna kuning keemasan menakjubkan. Jalanan menurun dan menanjak tak habis-habisnya. Sekelilingku lengang, luas dan luas. Hanya rumput bergoyang, dan debu yang sedikit menyesakkan. Sebatang pohon di kejauhan menguarkan semangat yang segera berbuah kecewa saat tak dpt digunakan untuk berteduh. Dia menepi, tegak berdiri jauh dari jalanan. Pos satu dan berikutnya terlalui. Di kejauhan, puncak sang dewi, anggun menanti.

Ketika hari beranjak senja, dan jalanan setapak pada punggungan bukit-bukit kering mulai menghilang dalam kelam, kami memasang tenda-tenda di bawah bintang-bintang malam yang segera muncul. Indah. Lelah hari pertama membawa kami dalam tidur nyenyak segera. Dalam keheningan pagi, suara sang padre membangunkan para wedus untuk segera melangkah kembali. Hari kedua dimulai.

Dan perjalanan ini berubah berat. Nyeri melanda lutut kiriku, cemas terasa. Tak ingin menambah beban sang padre dan para sahabat, kucoba tetap melangkah semangat J meski sakit bukan kepalang. Melewati savanna yang terbakar, kehijauan yang menipis diantara pohon-pohon cemara gunung, pikiranku melayang ke senja di hari pertamaku tiba pulau ini. Dalam misa yang lengang, dalam khotbah yang sayup-sayup terdengar, aku baru menyadari sang Romo hanya memiliki sebelah tangan. Kehilangan lengan kiri dalam sebuah kecelakaan hampir memutus impiannya menjadi seorang Imam. Dia bercerita, tak ada yang menginginkan seorang Romo bertangan buntung. Adalah karunia Tuhan hingga akhirnya impiannya melayani sang Bapa terkabul. Salib yang harus dia pikul setiap harinya. Entah kenapa, bayangannya yang memecah roti serta membagi-bagikannya dengan satu tangan masih terasa mengharukan, atau mungkin juga rasa sakit di lutut ini yang menyebabkannya.

Melangkah tertatih dalam iringan para sahabat, kami tiba di keheningan Plawangan Sembalun. Memandang senja berubah merah di atas danau Segara Anak di bawah sana. Sungguh menakjubkan. Tenda dalam warna warni cerah tampak di kejauhan pada pinggang bukit, pemberhentian sebelum puncak. Hilir mudik dalam canda, sore menjelang. Secangkir kopi jahe, senyum manismu kawan, pelengkap keindahan sore ini. Mari bersiap, pagi nanti ketabahanmu diuji.

Dalam terang senter yang berpendar-pendar pada keheningan dinihari ketiga, kami beriringan menapaki jalur ke puncak. Dingin menusuk, debu menyesak, dan lelah berkejaran mematahkan semangat. Dahaga memuncak dalam udara yang semakin tipis, pusing melanda. Dan beberapa sahabat terpaksa berhenti berjuang, tak perlu disesali. Semangatmu sahabat, kami bawa sampai ke puncak. Indah, dan agung. Beginilah rasanya, dalam peraduan sang Dewi Anjani. Langit biru, kabut memutih di bawah, dan kehijauan danau di kejauhan sana sungguh sepadan dengan rasa letih ini. Dan perasaan itu muncul lagi. Betapa kecilnya aku, betapa kecilnya kita teman. Betapa besar Dia sang maha pencipta. Terimakasih Tuhan.

Dan jalanan turun ternyata punya cara sendiri untuk menguji semangatku yang tersisa :). Tanpamu, sahabat yang tak kenal lelah mengiringi langkah-langkah kecilku , entah bagaimana setapak ini terlalui.

Sore hari, menuju keindahan Segara Anak, keagungan yang terasa mistis. Perlahan kami tiba, dan tenda-tenda kembali berdiri. Meringkuk tidur dalam bayangan danau, lelah memuncak sedikit terbayar. Pagi menjelang, segala terlihat hebat. Anak gunung Baru berdiri gagah, menantang pendahulunya. Air danau yang tenang berkilau dalam cahaya fajar, perbukitan yang bagaikan lukisan membuai khayalanku akan negeri asing. Wahai, adakah waktu dapat berhenti?

Keindahan ini serasa tak berakhir ketika siang harinya melalui tanjakan ke Plawangan Senaru, kembali sang Dewi memamerkan pesonanya sepanjang perjalanan. Bersama para sahabat, kembali menikmati senja menjelang, lebih indah, lebih megah, diantara hamparan perbukitan kuning kelabu dari pinggang Senaru. Lagi, secangkir kopi jahe diiring makan siang yang kesorean, bekal menuju perjalanan panjang menuju pos 2 dimana kami akan bermalam. Sedikit bersedih mencium aroma pohon dan semak terbakar, masih terasa panas abunya. Sudah dinihari saat kami tiba, segera berpeluk gelap yang dingin, tanpa mimpi. Namun senyum puas tentu menghias tidur singkat ini.

Segera, pagi ini perjalanan kami berakhir. Perjalanan berlanjut ke pos 1, dan Senaru membuka gerbang-gerbangnya bagi kami. Mempersilahkan kami kembali pulang. Bahagia tak terucap, haru terasa. Kami menyudahi kunjungan ini. Masih kurang. Masih ingin. Suatu saat nanti semoga kami boleh kembali.

Salam dan terimakasih para sahabat. Tanpamu, tidak indah perjalanan ini.
Rinjani, September 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar