Senin, 05 Juli 2010

Candu itu...


Ini pagi..lg bersiap. Semua sudah, td malam spanyol menang. Hebat. Di sekitarku semesta bergerak, hari ini cerah. Ah, sedikit cemas aku meraba lutut kiriku. Masih nyeri. Hasil pendakian sebelumnya. Tak apa, aku bergumam. Kali ini pasti terlupa, di luar sana akan banyak hal mengisi nyeri itu hingga pasti terlupa.
Perlahan, melewati ladang apel yg berbuah kering dan masam, terlintas gambaran tempat yg akan dituju. Lukisan indah mulai tercipta, serasa tak berujung. Dan ini masih awal. Perjalanan dimulai, berderap langkah sol sepatu baru memenuhi pagi yg tak lagi hening. Barisan warna warni ransel dan kostum bergerak menghiasi hari. Senyumku melebar, ini aku.. mulai bertamu.

Seperti berkali sebelumnya, langkah pertama selalu terasa berat. Konsentrasi, aku berujar pada sendiriku. Ini lutut mulai beraksi, berapa lama? Sekelilingku mulai hidup dengan obrolan. Tiga jam pertama, barisan pepohonan dan semak belukar kiri kanan jalan. Watu Rejing. Jembatan kayu. Lalu, hamparan keindahan itu muncul depan mataku. Abadikan, pikirku. Meski toh tak kan seindah dia, Ranu Kumbolo hadir dalam jepretan2 amatirku. Ini dia, danau dalam khayalanku. Berbaring menantang hari, beralas rumput menguning pada padang luas, kami menikmati sekerat tempe dan nasi putih. Oh damainya hidup, dan masih tetap awal.

Ketika tenda berdiri, unggun mulai mengusir dingin, bintang - bintang muncul di langit malam. Ini masih Minggu, harinya Tuhan. Misa indah di tepi Ranu (thanks Mo... :)), ada hening mencipta. Hening yg anggun, sebab kali ini kami berdoa untuk mereka yg pernah menikmati tempat ini dan tak pernah kembali. Itu bintang-bintang di atas masih menunggui. Dalam candaan hangat, bulan keperakan muncul. Menghias malam yg terlanjur indah. Bulan di atas danau. Dulu sekali, ada Bulan sebesar lapangan bola muncul di atas bukit samping rumah oppungku. Bulan dalam sinar putih cemerlang, seolah menghisap kampung kecilku dalam kilauan warnanya. Dalam mata kanak2ku tak ada langit seindah malam itu. Kali ini, aku harus merubah pikiranku.

Pagi di danau, tanpa terburu kami menikmati sajian Sang Pencipta.Hangat mentari. Damai. Ada tawa hangat tanpa beban melintasi pendengaranku. Ya, tempat ini indah. Saatnya melangkah lagi. Tanjakan itu menjanjikan cinta yang urung datang. Lagi, egoku tak mudah percaya, aku menoleh. Danau dari atas sini lebih indah dari pesona tanjakan itu (masih sj seperti Thomas). Di kejauhan, padang berbunga ungu menyambut. Siluet sang tuan rumah pun telah tampak di kejauhan. Oro-Oro Ombo. Mengagumkan pada bawah langit biru. Menyusuri setapak rangkaian pucuk-pucuk ungu, Cemoro Kandang menghadang. Jajaran cemara bak barisan serdadu waktu, menenggelamkam kami dalam teduh siang. Ada stroberi hutan menghibur langkah-langkah yang kerap terhenti dihantam letih. Manis dan asam. Eh, ini bagai petualangan di negeri dongeng.

Dari pos Jambangan, sang penguasa menunjukkan dirinya. Sejenak tertegun. Agung. Wahai Khalik, seperti apa rupa bumi saat dia diciptakan? Sekali lg, jepretan2 amatiran berlaga membekukan dia dalam selembar photo. Pertanyaan pertama, itu keatas darimana pak To? Sang porter menggerakkan telunjuknya, kamu lihat garis putih memanjang vertikal diatas sana? Itu jalurnya. Kecut. Setengah melongo, kami berusaha bernego. Memutar pak, ndak bisa toh ya?? kan punggungan biasanya memutar toh?? Si Bapak tersenyum, itu jalur satu-satunya. Wah, gawat benar ini. Bakalan ada yang tak bisa lelap malam ini hahaha (sory mbon...). Kalimati sudah di depan mata.

Apa yang kau cari me? jauh2 datang ke kesunyian ini? Tak tahu aku. Tanyakan saja lagi. Tetap aku tak punya jawab. Sekali lagi, unggun menyala. Malam ini, doa2 di daraskan untuk kepergian kami yang meminta kembali. Bapa, biar kami coba bawa keindahan itu bagi yang lain. Ijinkan.
Dini hari, Arcopodo menguak pintu-pintunya buat kami. Terjal, dan semakin berat. Oksigen mulai menipis. Berkali jurang menganga di kiri kanan jalan. Teriakan peringatan saling bersambut. Kawan, semangat siapa ini yang kita bawa?

Batas akhir vegetasi. Uhh, itu lautan pasir menggunduk terjal ke atas. Mampukah? Saling menguatkan, nyala senter mulai beriringan. Pelan-pelan saja. Pasir diinjak, pasir luruh. Satu langkah maju, dan mundur menyertai langkah berikut. Tapi hei, lutut ini tak lg nyeri. Bulan cantik di atas, dan bintang fajar mengawal kami bak raja-raja dari timur. Engkau sudi kiranya akan kami dan niat ini.
Jauh, masih sangat jauh. Lalu, hantu-hantu dalam diriku mulai beraksi. Mengajakku berdansa dalam kantuk yang mulai menyerang. Gejala awal hipoksia. Ayo, lecutku. Jangan sampai kantukmu abadi. Angin dingin membantuku untuk ttp berjalan. Berhenti hanya menambah letih, dan dingin yang menyerang. Di depanku, sahabat mendaki perlahan. Di bawahku, semangat yang sama masih menyala dalam pendar senter pada pagi menjelang. Ah, mana boleh menyerah. Selangkah demi selangkah. Lagi, pasir diinjak, pasir luruh. Tak ada pegangan, alunan Padi yang tadi menghiasi setapak di arcopodo, berulang-ulang mengisi kepalaku (coba kau putar lg td wid, mungkin naik akan lebih mudah)
Bulan keperakan masih di atasku. Puncak belum lg tiba, masih jauh. Pendar fajar pagi mulai muncul. Menghipnotis langkah2 kami yg segera terhenti. Oh Bulan perak dan Fajar merah. Betapa mengagumkan menyaksikan pertunjukan akbar dari kemiringan ini. Mari, lanjutkan langkah2 kita. Terus merangkak mendekati puncak. Apa yang kau cari Me? tak tahu aku.

Mereka mendaki ke puncak gunung-gunung
Mereka menengadah dan berkata, kesanalah Soe Hok Gie dan Idhan Lubis pergi
Kembali ke pangkuan bintang-bintang (SY)


Untaian kata pada nisan diam di atas sana. Hai orang asing, semangatmukah yang kami bawa? Pada senyum melebar dibalut letih tak terkira, kami bersalaman. Mahameru... ini aku. Kami datang bertamu, sudilah menjamu dalam keagunganmu.
Gigiran kawah Jonggring Saloka berselimutkan asap tebal membumbung tinggi, Wedus Gembel. Putih. Dilatarbelakangi suara letusan berulang2. Menggetarkan. Semeru sudah meminta banyak. Dingin merajai tulang. Sang merah putih, dengan pinggirannya yang mulai robek dimakan waktu, berkibar gagah pada puncak Mahameru.

Aku datang dengan tangan hampa, berharap pada keheningan puncak ini, aku menemukan makna perjalananku. Teringat pertanyaan seorang Bapak pada perjumpaanku yang lalu. Apa yang kau cari saat datang ke keheningan seperti ini? Adakah ketenangan? yang menjadi impian setiap mereka yang diperbudak diri? Waktu itupun aku masih tidak tahu.
Di puncak ini, aku mendapati. Tak ada yang aku cari. Aku merasa kecil pada bawah langit maha luas, dan itu sudah cukup untuk membuatku bersyukur. Atas anugerah alam ini. Atas kaki ini. Terima kasih Bapa.

Abadikan. Abadikanlah lagi. Bawa untuk mereka yang belum sempat berkunjung.
Jalanan menurun, curam. Sekali lagi... batas nyali di uji dalam kelelahan tiada tara. Tapi, aku bangga. Banggaku ada pada sahabat-sahabat seperjalanan. Wajah-wajah letih bersinar dalam kebahagiaan. Kita sudah tiba teman. Bukan untuk menaklukkan, karena pada akhirnya Sang Mahameru tetap akan berdiri kokoh. Katakan kita berkunjung. Membawa pulang rasa bangga untuk diri dan sekitar.
Pada jalanan menurun, aku menoleh. Lagi. Wahai, Kau yang berdiri tak tertandingi. Masih aku rindu mencumbu. Nanti, satu kali lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar