Senin, 19 Juli 2010

Ijen...


Banyuwangi.. apa yg kutau ttg kota ini? tak ada. Sendiri, yg kutuju benar-benar hanya dia. Dari Arjosari Malang, menumpang bus malam yg berganti pd tiga terminal berbeda dengan Rp.40.000,- aku berkunjung. Terminal Karangente kudapati pd jam 07.30 pagi hari dengan kaki kram, hasil dari terjepit berdesakan selama 3 jam pd bus pindahan terakhir. Pantesan harganya tdk sama dgn yg tertera pd papan informasi Arjosari. Dari sini Karangente ke Paltuding, ada bnyk ojek yg menunggu, dgn kisaran harga Rp.75.000,- - Rp.150.000,-. Bisa jg hanya sampai Licin, lalu menumpang truk pengangkut belerang yang mudah2an tdk pake bayar. Aku beruntung penumpang pertama ojek yg k naiki sehingga harga Rp. 75.000,- cukup, plus Rp.5.000,- buat secangkir kopi si bpk ojek.

Jalanan ke Paltuding cukup membuat repot. Aspal yg hancur, batuan besar kecil berserak, bahkan pd beberapa tanjakan curam yg menyebabkan aku hrs berjalan sedikit mendaki. Jalanan ini jg sukses membuat lengan si Bpk ojek letih memegang setir dan harus berhenti sejenak untuk mengurutnya. Hanya sekitar 20 kilo, sepertiga jika dibanding naik Paltuding lewat Bondowoso yg 70 kilo dengan jalanan rusak yg sama, meski lebih mendatar. Pukul 08.30, aku tiba. Pos awal pendakian Ijen. Melihatku turun dr ojek, 2 orang Bpk petugas mendekati dan bertanya apakah mau naik dan berapa jumlah rombonganku. Mendengar jawaban aku datang sendiri, dan tetap berniat naik meski sudah waktunya orang turun dari pendakian, para Bapak petugas ini sedikit heran. Begitupun, mereka cukup ramah. Apalagi tau aku datang dari Sumatera hehehe, belum daftar, malah sudah ditawarkan untuk ikut pulang ke banyuwangi dengan mereka saja nanti sore. Benar2 anugerah, mengingat sepanjang jalan ke Paltuding aku mereka-reka dengan apa aku harus pulang ke terminal lg nantinya.

Mendaftar di pos, aku memulai pendakianku yg setelah diyakinkan Bpk petugas akan sangat aman, aku merasa mantap. 3 kilometer sampai kawah, oke. Jalur ke atas sangat lebar, dan rapi karena pinggirannya kelihatan baru di bersihkan. Ada beberapa pos peristirahatan yg dibangun dari batu.

30 menit pertama, aku berjumpa seorang Bpk penambang yg turun memanggul belerang pertama-nya hari itu. Ku ajak dia berhenti dan kami sarapan roti bekalku yg belum kusentuh dr fajar tadi. Beberapa saat berikutnya, aku berpapasan dengan mereka yang mendaki pada dinihari. Dari jumlah seluruh mereka yg turun, aku menghitung hanya ada 6 atau 8 orang pribumi, selebihnya adalah wisatawan asing. Wow.. ini kawah lebih dikenal bangsa lain rupanya.

Sesampai di Pondok Bunder (2214 mdpl, 2 kilo), pos penimbangan belerang sekaligus pos tidur para penambang, aku memutuskan mengisi botol dng teh dan makan mie gelas. Bpk guide yg kutemui bersama rombongannya blg, itu bagus karena aku sdh memulai siangan, maka mengisi perut adalah jln paling bijak mengingat angin akan mulai membawa bau belerang yang mencekik kemana2.

Dari sini, pak Imam, salah seorang penambang menawarkan utk menemani sampai ke kawah. Sedikit enggan, aku memulai perjalanan 1 kilo lagi menuju bibir kawah. Mulai banyak pemanggul belerang yg kutemui, meski menurut pak Imam ini hari sepi, karena para penambang harus jum'atan. Tidak lagi mencari sunrise, aku hanya berkeinginan melihat aktivitas penambang sampai ke kawah. 2x sehari, dengan beban 60-80 kg, dihargai Rp.600 per kg para penambang harus puas. Itu belerang di alirkan dari kawah, ditampung pada tong-tong besi untuk dibekukan dan dipindahkan pada bakul-bakul panggulan. Di bawa naik ke atas sejauh 750 m dengan jalurnya yg curam dan berbatu rapuh. Dari bibir kawah, dibawa turun 3 kilo ke Paltuding untuk kemudian d angkut truk-truk ke surabaya. Betapa butuh perjuangan.....

Menimbang-nimbang, akhirnya aku turun ke kawah. Bersama pak Imam, aku mendengar cerita seorang turis yg jatuh dan meregang nyawa saat mengambil photo para penambang bebrapa tahun lalu. Selain asap belerang, batuan rapuh ini menjadi momok menakutkan saat turun ke pusat penambangan di bawah. Cukup curam. Ditambah harus memperhatikan arah angin, yg berubah-ubah menyebabkan asap belerang tidak tentu pd satu arah. Harus hati-hati, sebab menghirup dapat berarti kematian. Tapi menakjubkan buat para Bpak ini, yg sudah demikian kebal terhadap uap belerang sehingga mereka hanya perlu memakai masker plastik atau handuk basah untuk melawan uap belerang tersebut, setiap harinya.

Kawah dengan air kehijauan, di bumbui kabut memutih menutup danau.. Menakjubkan. Dengan ukuran sekitar 900x600 m, ini adalah kawah dengan aktifititas penambang terbesar d asia. Mungkin d dunia. Kedalamannya 200 m. Turun ke kawah, aku satu-satunya pengunjung selain Pak Imam dan dua orang lagi yg hebatnya, sedang tidur di pondok bersebelahan dengan lokasi penyedotan belerang. Aku saja tdk mampu bernafas tanpa sapuntangan yg dibasahi terus. Ada cetakan kura2 dari belerang yang kubeli dengan harga Rp.5.000,- sebuah. Betapa murahnya. Oleh-oleh buat teman yg lucunya malah terlupa.

Aku merasa sedikit hebat, ketika pak Imam bilang tak apa menyentuh air kawah lalu di abadikan olehnya. Masih sempat aku disuguhi pemandangan luar biasa, beberapa detik, ketika kabut di atas kawah tersibak, memamerkan lingkaran danau hijau diterangi matahari meninggi dan punggungan kawah yang kokoh di seberang. Betapa indahnya. Cepat-cepat aku mengambil beberapa gambar. Tidak puas sebenarnya, tp aku hrs naik sebelum uap belerang menyulitkanku. Tak yakin aku mampu kembali sendiri, pak Imam mengantarkanku setengah perjalanan ke atas. Dan aku membalas dengan memberi Rp. 30.000,- Entah itu cukup untuk ganti penyertaannya.

Kembali di bibir kawah, aku memandang jauh ke bawah, ke arah pak Imam dan teman2nya yg sudah tak tampak. Lalu, ke kawah dengan air hijau cantik dan kabut putih diatasnya. Aku sendirian... tanpa cericit burung. Hanya desau angin, dan terik matahari yg mulai membakar. Hening kembali... hampir2 membuatku merinding. Suasana syahdu yg biasa kusuka. Ini perjalanan sendiriku, aku senang mampu melakukannya. Terimakasih Tuhan.

Turun ke paltuding, sendirian sepanjang jalur 3 kilo, hanya bertemu dua Bapak penambang, aku menikmati sajian alam. Kicau burung pada pepohonan, lompatan musang (mungkin..), derap kakiku menampar-nampar kerikil dan suara hatiku yang bercerita sendiri. Puas. Aku menikmati makan siang yg terlambat di warung sekitar area pos. Rp.8.000,- aku mendapat sekerat daging, tempe, sambal dan sayuran segar. Ditambah segelas teh. Bahkan pada keadaan kantong hampir kosong, aku sedikit menyesalkan betapa murahnya makanan itu.

Aku pulang dengan Bpk petugas pos, rumahnya di Licin. Sepanjang jalan, aku terkantuk2 sembari di dongengi kisah-kisah pertemuan si Bpk dengan berbagai macam turis lokal dan mancanegara. Dia sedang belajar bahasa inggris, dan sebentar lagi dia kursus bahasa perancis. Dia menyayangkan teman2nya yg tdk mau berusaha belajar, meski setiap hari harus dihadapkan dengan wisatawan mancanegara. Saya jd sedikit repot, katanya.

Aku sampai di Licin, terimakasih Bapak. Kembali naik Ojek aku mencoba stasiun Karang asem, tetapi kereta baru berangkat sore dan aku tdk mau kemalaman. Aku meminta Bpk ojek mengantarku kembali ke Karangente, mengambil bus jurusan malang. Si Bpk yang memiliki putra tunggal, sangat bangga bercerita. Putranya sdh menjadi tour guide beberapa tahun, membawa rombongan turis luar. Putranya tidak kuliah, dan belajar bahasa inggris secara otodidak. Mbak kuliah? tanyanya. Ya, kujawab. Wah hebat... kenapa td tdk mampir dulu kerumah saya ya, katanya. Anakku pintar mbak, bs bahasa inggris. Dia pintar sekali tenses, ktnya. Dan aku terbahak diam di belakangnya, bertanya-tanya apa si Bapak tau apa itu tenses. Hingga 1o menit kemudian tiba di terminal, dia masih bercerita mengenai putranya. Oh hidup yang indah. Rp. 30.000,- aku membayar.

Pukul 05.00 sore. Aku pulang dengan ongkos yang lebih murah ke kota Malang. Hebatnya, bus rusak di tengah jalan dan alhasil, aku tiba pukul 02.00 dinihari. Dengan ojek Rp.20.000,- dari Arjosari pulang ke Sanggar, mendapati rumah hening dan Belanda menang atas Uruguay. Hebatt....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar