Kamis, 30 September 2010

Aku bisa saja membenci Tuhan…

Malam beranjak larut di Losd Tanjung Mbelang, satu dari sekian posko pengungsi letusan Sinabung di Kecamatan Tiganderket, Kabupaten Karo. Semakin dingin, sementara losd ini tak berdinding dan hanya berlantaikan semen tipis. Suara sang padre memecah kerumunan yang menyesak di sekeliling losd.

Ini malam persis keduapuluh hari losd ini ditempati penduduk yg mengungsi meninggalkan kampung-kampung sejuk di kaki Sinabung. Semakin sesak terasa, mungkin terhimpit rasa bosan dan penantian tak pasti dari pakar2 vulkanologi yang omongannya sering tak sejalan keinginan alam.

Sang padre masih berbicara, menghibur segenap penghuni Losd.
Malam ini renungan rohani, acara yang digagas untuk memberikan penyejuk (atau tidak??) di hati para pengungsi yang sudah sangat resah. Sementara melamun, aku sayup mendengar dia berkata, mari jangan marah pada Penguasa alam, ini bukan sengsara karena Dia ingin menghukum kita. Mari menganggap ini kejadian alam, dan adalah wajar adanya. Bumi kita sudah tua, dan kita yang perlu untuk waspada. Mari lihat sisi baiknya, kita boleh berkumpul bersama disini, berkenalan dengan tetangga kampung sebelah yang selama ini mungkin tak terpikir untuk bersapa. Di atas segalanya, mari lihat bahwa kita kecil, dan butuh Dia.

Pikiranku mengembara, ini bencana terkadang bukan apa2 dibanding yang lalu2. Tidur dilantai dingin beralas tikar saja, selembar selimut menghindarkan hawa dingin, sarapan indomie malamnya ikan asin, terasa jauh lebih baik, masih lebih beruntung. Daripada bapak di tepi Ulee lheu, yang kehilangan istri dan anak gadis tersayang, tak tahu dimana kuburnya. Daripada Yudi yg harus menyimpan sebelah cincin pertunangan selamanya, daripada Gempa Jogja, daripada Banjir Baleendah, daripada Gempa Nias, Gempa Padang, Longsor Ciwidey, Gunung Merapi, Angin puting beliung, daripada… aahh betapa banyaknya.

Ini masih belum apa-apa…bukan apa-apa..

Satu masa aku berjumpa ibu yg mencari anak perempuannya, katanya terseret galumbang rayeuk tsunami waktu itu, tp dia mencari di perempatan lalu lintas Beuraweeh. Aku bawa ke pos polisi, dan mereka menertawakan si ibu (dan menertawakanku juga…) Banyak orang kehilangan akal jaman sekarang dik, katanya…

Bisakah percaya, Tuhan tidak sedang marah pada kita?
Dia tidak membenci kita, lanjut sang padre. Bagaimana bisa Dia membenci anak-anak kecil, membenci para wanita, membenci pria-pria yang seharian menghabiskan waktu di kebun jeruk, di ladang bawang. Ayolah, Dia kan Maha Kuasa, kalau mau hanya Sodom dan Gomora modern saja yang dihancurkannya, Dia akan pilih-pilih. Maka lagi-lagi, lihat ini sebagai satu fase alam, mari tekun berdoa, tekun siaga, tekun berbuat baik.
Ah padre, aku pun tak bisa siap..

Perlu seluruh kekuatan hati untuk memahami misteri ini, bahwa Tuhan baik aku percaya. Tapi saat seperti ini, ketika yang terbaring dihadapanku adalah bayi dengan hidung meler, berwajah pucat, terbungkus tumpukan selimut menahan dingin, nini tua meringkuk dalam syal kusam disebelah tumpukan kardus indomie, susah sekali membawa hati ini padaMu.

Bapak bisa saja membenci Tuhan, dulu itu kata Bapak di tepi Ulee lheu, tapi buat apalah… Bapak masih hidup dan mungkin karena masih ada yang harus Bapak selesaikan disini, itu saja… Nanti juga akhirnya kesana, maka lebih baik jalani hidup sepi ini sebaik mungkin. Ya…sebaik-baiknya…

Malam terus menghitam, membungkus hari2 kelabu. Suara sang padre kini bersyair merdu, menghibur dalam alunan khas lagu Karo. Ini untukmu Bapa ras Nande… mari melandek, larutkan saja resahmu dalam tarian…

# 081 2 empat kali 555 terkirim berita
bayang tedeh ateku kena
la ndekah erterima mis kal ibalasna
cirem cirem aku mbaca smsna
Salam sayang ulanai kam main mata #

Tidak ada komentar:

Posting Komentar